Sabtu, 30 Juli 2011

Link Kitab Hadist

http://www.ziddu.com/download/15882181/Haditsweb3.chm.html

Istilah hadist ‘Muttafaq’alaihi’

Istilah hadist ‘Muttafaq’alaihi’

Selama ini kadang agak bingung kalau nemuin hadist kemudian perawinya adalahmuttafaq’alaihi. Karena biasanya yang sering kita dengar adalah HR. Bukhori ataupun HR Muslim.
Ternyata setelah coba-coba browsing ke google ada pencerahan mengenai pengertianMuttafaq’alaihi sebagai berikut:
Istilah muttafaq ‘alaih secara bahasa berarti disepakati atasnya.
Dalam ‘urf para ahli hadis, istilah ini biasanya digunakan untuk hadis
yang disepakati kesahihannya oleh dua imam hadis: Imam al-Bukhâri dan
muridnya, Imam Muslim-rahimahumallâh.
atau
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim.
Semoga bermanfaat :-)
sumber:
http://opi.110mb.com/haditsweb/pendahuluan/pengertian_hadits.htm
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/50978

Hadist Shaum / Puasa

Shaum / Puasa



1. Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari)

2. Allah 'Azza wajalla mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunahkan shalat malam harinya. Barangsiapa berpuasa dan shalat malam dengan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. (HR. Ahmad)
3. Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, "Aamin", begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, "Mengapa Rasulullah mengucapkan "Aamin"? Beliau lalu menjawab, "Malaikat Jibril datang dan berkata, "Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu" lalu aku berucap "Aamin." Kemudian malaikat berkata lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga." Lalu aku mengucapkan "aamin". Kemudian katanya lagi, "Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya." Lalu aku mengucapkan "Aamin." (HR. Ahmad)
4. Bau mulut seorang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dari harumnya misik (minyak wangi paling harum di dunia). (HR. Bukhari)
5. Makanlah waktu sahur. Sesungguhnya makan waktu sahur menyebabkan berkah. (HR. Mutafaq'alaih)
6. Manusia tetap berkondisi baik selama mereka tidak menunda-nunda berbuka puasa. (HR. Bukhari)

7. Barangsiapa tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa) maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya. (HR. Bukhari)

8. Barangsiapa shalat malam pada malam Lailatul Qodar dengan keimanan dan harapan pahala dari Allah maka akan terampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari)
9. Mungkin hasil yang diraih seorang shaum (yang berpuasa) hanya lapar dan haus, dan mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam (Qiyamul lail) hanyalah berjaga. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
10. Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahalanya, dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun. (HR. Tirmidzi)
11. Tidaklah termasuk kebajikan orang yang tetap berpuasa dalam perjalanan (musafir). (HR. Bukhari)

12. Barangsiapa berbuka puasa sehari tanpa rukshah (alasan yang dibenarkan) atau sakit, maka tidak akan dapat ditebus (dosanya) dengan berpuasa seumur hidup meskipun dia melakukannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
13. Barangsiapa berpuasa Ramadhan (penuh) lalu diikuti dengan berpuasa enam hari dalam bulan Syawal maka dia seperti berpuasa seumur hidup. (HR. Muslim)
Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press



5. Kitab Puasa

 
Hadits ke-1
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa, maka bolehlah ia berpuasa." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-2
Ammar Ibnu Yasir Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia telah durhaka kepada Abdul Qasim (Muhammad) Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Hadits mu'allaq riwayat Bukhari, Imam Lima menilainya maushul, sedang Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya hadits shahih.
Hadits ke-3
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berpuasalah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari."
Hadits ke-4
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah: "Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari."
Hadits ke-5
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang-orang melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang agar berpuasa. Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban.
Hadits ke-6
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah." Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka berpuasa." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sesang Nasa'i menilainya mursal.
Hadits ke-7
Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Riwayat Imam Lima. Tirmidzi dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya shahih secara marfu'. Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa wajib semenjak malam."
Hadits ke-8
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Suatu hari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke rumahku, lalu beliau bertanya: "Apakah ada sesuatu padamu?" Aku menjawab: Tidak ada. Beliau bersabda: "Kalau begitu aku berpuasa." Pada hari lain beliau mendatangi kami dan kami katakan: Kami diberi hadiah makanan hais (terbuat dari kurma, samin, dan susu kering). Beliau bersabda: "Tunjukkan padaku, sungguh tadi pagi aku berpuasa." Lalu beliau makan. Riwayat Muslim.
Hadits ke-9
Dari Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang-orang akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-10
Menurut riwayat Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah 'Azza wa Jalla berfirman: Hamba-hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling menyegerakan berbuka."
Hadits ke-11
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur itu ada berkahnya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-12
Dari Sulaiman Ibnu Amir Al-Dlobby bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu berbuka, hendaknya ia berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air karena air itu suci." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Hadits ke-13
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang puasa wishol (puasa bersambung tanpa makan). Lalu ada seorang dari kaum muslimin bertanya: Tetapi baginda sendiri puasa wishol, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Siapa di antara kamu yang seperti aku, aku bermalam dan Tuhanku memberi makan dan minum." Karena mereka menolak untuk berhenti puasa wishol, maka beliau berpuasa wishol bersama mereka sehari, kemudian sehari. Lalu mereka melihat bulan sabit, maka bersabdalah beliau: "Seandainya bulan sabit tertunda aku akan tambahkan puasa wishol untukmu, sebagai pelajaran bagi mereka uang menolak untuk berhenti." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-14
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya serta berlaku bodoh, maka tidak ada keperluan bagi Allah untuk meninggalkan makanan dan minumannya." Riwayat Bukhari dan Abu Dawud. Lafadznya menurut riwayat Abu Dawud.
Hadits ke-15
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium sewaktu berpuasa dan mencumbu sewaku berpuasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kamu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat ditambahkan: Pada bulan Ramadhan.
Hadits ke-16
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah berbekam dalam keadaan ihram dan pernah berbekam sewaktu berpuasa. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-17
Dari Syaddad Ibnu Aus bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang sedang berbekam pada bulan Ramadhan di Baqi', lalu beliau bersabda: "Batallah puasa orang yang membekam dan dibekam." Riwayat Imam Lima kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.
Hadits ke-18
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Pertama kali pembekaman bagi orang yang puasa itu dimakruhkan adalah ketika Ja'far Ibnu Abu Thalib berbekam sewaktu berpuasa. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melewatinya dan beliau bersabda: "Batallah dua orang ini." Setelah itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan keringanan untuk berbekam bagi orang yang berpuasa. Dan Anas pernah berbekam ketika berpuasa. Riwayat Daruquthni dan ia menguatkannya.
Hadits ke-19
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memakai celak mata pada bulan Ramadhan sewaktu beliau berpuasa. Riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang lemah. Tirmidzi berkata: Dalam bab ini tidak ada hadits yang shahih.
Hadits ke-20
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa lupa bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah." Muttafaq Alaihi
Hadits ke-21
Menurut riwayat Hakim: "Barangsiapa yang berbuka pada saat puasa Ramadhan karena lupa, maka tak ada qodlo dan kafarat baginya." Hadits Shahih.
Hadits ke-22
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang terpaksa muntah maka tak ada qodlo baginya dan barangsiapa sengaja muntah maka wajib qodlo atasnya." Riwayat Imam Lima. Dinilai cacat oleh Ahmad dan dinilai kuat oleh Daruquthni.
Hadits ke-23
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam keluar pada tahun penaklukan kota Mekah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa, hingga ketika sampai di kampung Kura' al-Ghomam orang-orang ikut berpuasa. Kemudian beliau meminta sekendi air, lalu mengangkatnya, sehingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya. Kemudian seseorang bertanya kepada beliau bahwa sebagian orang telah berpuasa. Beliau bersabda: "Mereka itu durhaka, mereka itu durhaka."
Hadits ke-24
Dalam suatu lafadz hadits shahih ada seseorang berkata pada beliau: Orang-orang merasa berat berpuasa dan sesungguhnya mereka menunggu apa yang baginda perbuat. Lalu setelah Ashar beliau meminta sekendi air dan meminumnya. Riwayat Muslim.
Hadits ke-25
Dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk berpuasa, maka ia tidak berdosa." Riwayat Muslim dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim dari hadits 'Aisyah bahwa Hamzah Ibnu Amar bertanya.
Hadits ke-26
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari untuk seorang miskin, dan tidak ada qodlo baginya. Hadits shahih diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim.
Hadits ke-27
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan denan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." Riwayat Imam Tujuh dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Hadits ke-28
Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena bersetubuh. Kemudian beliau mandi dan berpuasa. Muttafaq Alaihi. Muslim menambahkan dalam hadits Ummu Salamah: Dan beliau tidak mengqodlo' puasa.
Hadits ke-29
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa meninggal dan ia masih menanggung kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-30
Dari Abu Qotadah al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam perna ditanya mengenai puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: "Ia menghapus dosa-dosa tahun lalu dan yang akan datang." Beliau juga ditanya tentang puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: "Ia menghapus dosa-dosa tahun yang lalu." Dan ketika ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: "Ia adalah hari kelahiranku, hari aku diutus, dan hari diturunkan al-Qur'an padaku." Riwayat Muslim
Hadits ke-31
Dari Abu Ayyub Al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun." Riwayat Muslim.
Hadits ke-32
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika seorang hamba berpuasa sehari waktu perang di jalan Allah, niscaya Allah akan menjauhkannya dengan puasa itu dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-33
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa berpuasa sehingga kami menyangka beliau tidak akan berbuka dan beliau berbuka sehingga kami menyangka beliau tidak akan berpuasa. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-34
Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk berpuasa tiga hari dalam sebulan, yaitu pada tanggal 13,14, dan 15. Riwayat Nasa'i dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-35
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan berpuasa di saat suaminya di rumah, kecuali dengan seizinnya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Abu Dawud menambahkan: "Kecuali pada bulan Ramadhan."
Hadits ke-36
Dari Abu Said Al-Khudry bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada dua hari, yakni hari raya Fithri dan hari raya Kurban. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-37
Dari Nubaitsah al-Hudzaliy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla." Riwayat Muslim.
Hadits ke-38
'Aisyah dan Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Tidak diizinkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (di Mina saat ibadah haji). Riwayat Bukhari.
Hadits ke-39
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah mengkhususkan malam Jum'at untuk bangun beribadah dibanding malam-malam lainnya dan janganlah mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa dibanding hari-hari yang lainnya, kecuali jika seseorang di antara kamu sudah terbiasa berpuasa." Diriwayatkan oleh Muslim.
Hadits ke-40
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu berpuasa pada hari Jum'at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-41
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila bulan Sya'ban telah lewat setengah, maka janganlah engkau berpuasa." Riwayat Imam Lima dan diingkari oleh Ahmad.
Hadits ke-42
Dari al-Shomma' binti Busr Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah berpuasa pada hari Sabtu, kecuali yang telah diwajibkan atasmu. Jika seseorang di antara kamu hanya mempunyai kulit anggur atau ranting pohon, hendaknya ia mengunyahnya." Riwayat Imam Lima dan para perawinya dapat dipercaya, namun hadits itu mudltharib. Malik menilainya munkar dan Abu Dawud berkata: Hadits itu mansukh (oleh hadits nomer 43 berikut).
Hadits ke-43
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam paling sering berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, dan beliau bersabda: "Dua hari tersebut adalah hari-hari raya orang musyrik dan aku ingin menentang mereka." Dikeluarkan oleh Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dengan lafadz ini.
Hadits ke-44
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang untuk berpuasa hari raya arafah di Arafah. Riwayat Imam Lima selain Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Hakim. Hadits munkar menurut Al-'Uqaily.
Hadits ke-45
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada puasa bagi orang yang berpuasa selamanya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-46
Menurut riwayat Muslim dari hadits Abu Qotadah dengan lafadz: "Tidak puasa dan tidak berbuka."
Hadits ke-47
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharap ridlo'Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-48
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila memasuki sepuluh hari -- yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan-- mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-49
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sepeninggalnya. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-50
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila hendak beri'tikaf, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke tempat i'tikafnya. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-51
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasukkan kepalany ke dalam rumah -- beliau di dalam masjid--, lalu aku menyisir rambutnya dan jika beri'tikaf beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk suatu keperluan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Hadits ke-52
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Disunatkan bagi orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak melawat jenazah, tidak menyentuh perempuan dan tidak juga menciumnya, tidak keluar masjid untuk suatu keperluan kecuali keperluan yang sangat mendesak, tidak boleh i'tikaf kecuali dengan puasa, dan tidak boleh i'tikaf kecuali di masjid jami'. Riwayat Abu Dawud. Menurut pendapat yang kuat hadits ini mauquf akhirnya.
Hadits ke-53
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada kewajiban puasa bagi orang yang i'tikaf, kecuali ia mewajibkan atas dirinya sendiri." Riwayat Daruquthni dan Hakim. hadits mauquf menurut pendapat yang kuat.
Hadits ke-54
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa beberapa shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat lailatul qadr dalam mimpi tujuh malam terakhir, maka barangsiapa mencarinya hendaknya ia mencari pada tujuh malam terakhir." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-55
Dari Muawiyah Ibnu Abu Sufyan Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang lailatul qadar: "Malam dua puluh tujuh." Riwayat Abu Dawud dan menurut pendapat yang kuat ia adalah mauquf. ada 40 pendapat yang berselisih tentang penetapannya yang saya paparkan dalam kitab Fathul Bari.
Hadits ke-56
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku)." Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim.
Hadits ke-57
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini, dan Masjidil Aqsho." Muttafaq Alaihi.
 

Sumber: Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani.
http://www.mutiara-hadits.co.nr/

Tauhid ahlus-sunnah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah atas
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Seiring dengan merebaknya berbagai paham yang menyimpang
di kalangan masyarakat kita, seperti tasybih (menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya), takfir (pengkafiran) tanpa alasan, penolakan
dan pengingkaran terhadap empat madzhab dan lain-lain, maka
pemahaman dan pengajaran aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah harus
kembali ditekankan. Karena aqidah ini adalah aqidah mayoritas umat
Islam, dari masa Rasulullah hingga kini, aqidah golongan yang selamat
(al Firqah an-Najiyah). Karena itulah para ulama empat madzhab
menulis berbagai karya, dari mulai tulisan mukhtasharat (ringkasan)
hingga muthawwalat (buku-buku besar) dalam menerangkan aqidah
Ahlussunnah ini (seperti bisa dilihat dalam kutipan-kutipan buku ini).
Aqidah sunniyyah adalah aqidah yang telah disepakati
kebenarannya oleh segenap kaum muslimin di seluruh penjuru bumi.
Aqidah inilah aqidah yang telah dibawa oleh Rasulullah dan para
sahabat. Aqidah ini kemudian dijelaskan kembali berikut dengan dalildalil
naqli dan aqli serta bantahan terhadap golongan-golongan yang
menyempal oleh dua imam besar; al Imam Abu al Hasan al Asy’ari
dan Al Imam Abu Manshur al Maturidi -semoga Allah meridlai
keduanya-. Akhirnya pada awal abad IV H Ahlussunnah dikenal
dengan nama baru al Asya’irah dan al Maturidiyyah. Mereka adalah
mayoritas umat yang tergabung dalam pengikut madzhab empat.
Sesuatu yang patut disayangkan adalah merebaknya pahampaham
yang berseberangan dengan aqidah Ahlussunnah dengan klaim
sebagai Ahlussunnah. Seperti paham yang mengatakan bahwa Allah
bersemayam di atas ‘Arsy atau Kursi (sebagian mereka menyatakan di
langit), mengharamkan ziarah kubur, memusyrikkan orang yang
bertawassul, menyatakan semua bid’ah (hal yang tidak disebut secara

eksplisit dalam al Qur’an dan Sunnah) adalah sesat, dan banyak hal
lainnya. Bahkan pada kurun terakhir ini telah timbul paham baru –
mengikut paham salah satu sub sekte Khawarij– yang mengkafirkan
penduduk suatu negara yang tidak memakai syariat Islam. Mereka
mengkafirkan semua orang, baik yang duduk dalam pemerintahan
negara tersebut maupun rakyat biasa. Paham-paham inilah yang mulai
merebak di masyarakat kita. Paham-paham yang jelas-jelas menyalahi
apa yang telah disepakati oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Buku ini semoga menjadi penawar bagi kegelisahan–
kegelisahan. Kandungan buku ini adalah sesuatu yang telah disepakati
kebenarannya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Referensi yang
menjadi rujukannya adalah semua kitab-kitab mu’tabar yang beredar di
kalangan Ahlussunnah. Beberapa rekomendasi para ulama kami
cantumkan sebagai apresiasi dan persetujuan mereka terhadap isi buku
ini yang memang tidak menyimpang sedikitpun dari jalur Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang secara berkesinambungan diwarisi oleh masyarakat
muslim Indonesia dari generasi ke generasi.
Wabillah at-Taufiq .

Lembaga LITBANG
Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah
(SYAHAMAH)
Jakarta, 1 Agustus 2003


Siapakah
Ahlussunnah Wal Jama’ah ?


Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat
Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang
dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

"... فَمن َأراد بحبوحةَ الْجنة فَلْيلْزمِ الْجماعةَ" (رواه الترمذي)

Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di
surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh
pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim,
dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah,
Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan
al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) -semoga
Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka,
dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al
hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan
terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk
mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan
lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada
keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al
Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut

al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi
dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II
hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal
Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”.
Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas).
Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab
Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari
madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas
ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang
senantiasa mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam
mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan
mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia
disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah
shallalllahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan,
beliau menjawab:
"ِإيْمانٌ ِباللهِ ور  سوله" (رواه البخاري)
Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. al
Bukhari)
Sama sekali tidak berpengaruh, ketika golongan Musyabbihah mencela
ilmu ini dengan mengatakan ilmu ini adalah ‘ilm al Kalam al Madzmum
(ilmu kalam yang dicela oleh salaf). Mereka tidak mengetahui bahwa
‘ilm al Kalam al Madzmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh
Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka.
Sedangkan ‘ilm al Kalam al Mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang
ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada di
kalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan

membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat.
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- membantah golongan Khawarij
dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang
pengikut ad-Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta
alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh
orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau
juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibnu Abbas -semoga Allah
meridlainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan
hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar -
semoga Allah meridlai mereka semua- juga telah membantah kaum
Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam
al Hasan ibn Muhammad ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan
khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -semoga Allah meridlai mereka- juga
telah membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulamaulama
salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah
meridlainya-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula
al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -semoga
Allah meridlai mereka- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu
Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu
al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al
Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al
'Allaamah al Bayadli (W 1098 H) dalam Isyaraat al Maram dan lainlain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus
mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah
al 'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-
Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam
‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam
Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang
ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H);
beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian

menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalahuddin al Ayyubi
(W 589 H) -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat tertarik dengan
buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai
kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut
kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab
Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah
as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk
mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum
adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam
(Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah,
sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam
al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak
terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah
as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

File Download

http://downloads.ziddu.com/downloadfiles/14097140/risalahramadhan.zip
http://abinyaazka.blogspot.com/2010/02/download-area-free-download-ebook.html
http://elhooda.files.wordpress.com/2011/04/www-elhooda-com-kalender_2011_full_release.pdf
Bacaan Juz Amma : http://www.youtube.com/watch?v=zlvCnh5zoTU

Arti/Definisi Shalat Dan Dalil Keutamaan Shalat

Arti/Definisi Shalat Dan Dalil Keutamaan Shalat

Senin, 22 November 2010
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

      A.      Definisi Sholat. 
Sholat (الصَّلَاةُ) menurut bahasa artinya do'a (الدُّعَاءُ).
Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
{وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ}
"Dan berdo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'amu itu (menumnbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka". (QS. At-Taubah: 103)
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ....".
"Apabila salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah menjawab, apabila (sedang ) puasa maka do'akan". (HR. Muslim: 1431), mendo'akan yang punya hajah.
Sedangkan menurut syariat, yang dimaksud dengan sholat adalah:
"التَّعَبُّدُ للهِ تَعَالَى بِأَقْوَالٍ وَ أَفْعَالٍ مَعْلُوْمَةٍ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ، مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ، مَعَ النِّيَةِ ، بِشَرَائِطِ مَخْصُوْصَةٌ"
Beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dengan perkataan dan perbuatan yang telah diketahui, yang dibuka dengan takbir, diakhiri dengan salam, disertai dengan niat, dan dengan syarat-syarat khusus.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ"
"Sholatlah kalian seperti apa yang telah kalian lihat aku sholat". (HR. Ibnu Hibban: 1658)
B.      Keutamaan Sholat.
1)       Sholat adalah rukun Islam kedua, bahkan merupakan rukun Islam yang terpenting setelah syahadatain.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلَ اللهِ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ البَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ".
"Islam dibangun di atas lima pondasi, yaitu: syahadat (persaksian) bahwa tidak ada Ilah (yang berhak di ibadahi) kecuali Alloh dan bahwasannya Muhammad (adalah) utusan Alloh, mendirikan sholat,mengeluarkan zakat, haji ke Bait (Alloh), puasa di bulan Romadhon". (HR. Bukhori: 4514 dan Muslim: 121)
2)       Sholat adalah munajat (komuikasi dan hubungan langsung) antara hamba dengan Robbnya subhanahu wa ta'ala.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِيْ رَبَّهُ"
"sesungguhnya Salah seorang dari kalian apabila berdiri sholat, maka ia sedang bermunajat dengan Robbnya". (HR. Bukhori: 405)
3)       Sholat adalah penolong dalam segala urusan penting dan pencegah dari segala maksiat dan kemungkaran.
Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'". (QS. Al Baqarah [2]: 45)
Alloh subhanahu wa ta'ala memerintahkan mereka untuk meminta tolong dalam seluruh urusan mereka dengan berbagai jenis kesabaran yaitu sabar dari maksiat kepada-Nya sehingga meninggalkannya dan sabar atas takdir-Nya yang tidak menyenangkan baginya sehingga tidak murka, serta sabar dan mengendalikan jiwa dalam menjalankan perintah-perintah Alloh subhanahu wa ta'ala , sabar merupakan sumber pertolongan terhadap setiap perkara. Begitu pula minta pertolongan dengan sholat yang merupakan timbangan Iman dan pencegah dari kekafiran dan segala macam bentuk kemungkaran.
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
"Dan Dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar". (QS. Al 'Ankabuut [29]: 45)
Sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar karena seorang hamba yang menegakkannya dengan menyempurnakan seluruh rukun dan syaratnya serta kekhusu'annya, maka bersinarlah hatinya, bersihlah perasaannya, bertambahlah imannya, kuatlah keinginannya untuk berbuat kebaikan serta sedikit atau menghilanglah kesukaannya pada kemaksiatan.
4)       Sholat adalah perkara yang pertama kali akan dihisab pada hari qiyamat. Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ عَلَيْهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَنَجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَ خَسِرَ"
"pertama seorang dhamba dihisab pada hari qiyamat adalah sholat, maka jika baik (mengerjakan sholat) maka akan beruntung dan selamat, dan jika buruk (tidak mengerjakan sholat maka sungguh dia gagal dan merugi". (HR. Bukhori: 540 dan Muslim:1005)
5)       Sholat diibaratkan bangunan, maka sholat adalah tiangnya.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلَامُ وَ عَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ"
"pokok utama setiap urusan adalah Islam sedangkan tiangnya adalah sholat". (HR. Ahmad: 5/231)
6)       Sholat merupakan wasiat akhir Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam sebelum meninggal.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ"
”(Peganglah kuat) sholat dan budak kalian". (lihat : Kasyfu Al-Khofa': 164 )
7)       Sholat adalah cahaya bagi orang–orang beriman yang memancarkan dari dalam hatinya dan akan menyinarinya pada padang mahsyar.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَ بُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ القِيَامَةِ"
"barangsiapa yang menjaga sholatnya, niscaya ia akan menjadi cahaya, bukti dan penyelamat (baginya) pada hari qiyamat". (HR. Ahmad: 6576)
8)       Sholat merupakan ikatan Islam yang terakhir hilang dari muka bumi.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"لَتَنْقَضُنَّ عُرَى الإِسْلَامَ عُرْوَةً عُرْوَةً ، فَكُلَّمَا انْقَضَتْ عُرْوَةً تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا ، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الحُكْمُ، وَ آخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ"
"Sungguh akan terurai tali Islam pintalan demi pintalan, disaat telah lepas satu pintalan maka manusia berpegang teguh dengan pintalan berikutnya. Maka pintalan yang pertama kali lepas adalah hukum (syari'at) dan pintalan yang terlepas paling akhir adalah sholat". (HR. Ahmad: 5/251)


Sumber http://www.nurulilm i.com/maudhui/ fiqih/17- fiqih/393- keutamaan- sholat.html

Susunan Shaf Shalat

Download Gambar Susunan Shaf Shalat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka?” Maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka?” Beliau menjawab: “Mereka menyempurnakan barisan-barisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf) yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan”. (HR. Muslim, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah).
Sebagian besar kaum muslimin di Indonesia saat ini mungkin belum mengetahui bagaimana susunan shaf shalat berjama’ah yang sesuai dengan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamajarkan dan contohkan kepada kita. Buktinya, kalau kita amati shalat berjamaa’ah mereka di masjid-masjid sekitar kita masih banyak yang tidak sesuai dengan tuntunan, diantaranya; shaf makmum renggang bahkan ada yang kosong, bahu makmum tidak saling menempel, antara imam dan satu orang makmum berdiri tidak sejajar, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Lalu bagaimana aturan shaf dalam shalat berjama’ah yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Silahkan download file gambar susunan shaf shalat di bawah ini:


Posisi Imam dan Makmum Dalam Sholat Berjamaah

Klik gambar untuk melihat ukuran gambar penuh.