Minggu, 23 Oktober 2011

Nur Muhammad, Antara Makhluk dan Sang Khaliq

Nur Muhammad, Antara Makhluk dan Sang Khaliq


 
Hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Pencipta-nya.

Nur adalah cahaya. Sementara An-Nur adalah Sang Cahaya, salah satu Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah. Nur adalah cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah. Nur Muhammad adalah cahaya Muhammad. Terkadang ia juga disebutkan sebagai Haqiqah Muhammadiyah, artinya  sebuah realitas Muhammad atau realitas kemuhammadan yang diciptakan sebelum penciptaan alam. Nur Muhammad inilah yang pertama kali diciptakan Allah. Dan dari nur Muhammad inilah kemudian Allah Ta’ala menciptakan alam semesta dan isinya.
Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dalam kitab Maulid-nya, Simthud Durar, menuliskan perihal nur Muhammad, “Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang termasyhur bahwa sesuatu yang awal mula diciptakan Allah SWT adalah cahaya yang tersimpan dalam pribadi agung (Muhammad SAW) ini. Maka cahaya manusia inilah makhluk pertama yang muncul dalam penciptaann-Nya. Darinya berasal seluruh wujud alam ini yang baru datang ataupun yang sebelumnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanadnya yang bersambung sampai kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia pernah bertanya, ‘Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang diciptakan Allah sebelum makhluk lainnya.’
Rasulullah menjawab, ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan cahaya nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan yang lain.’ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Aku adalah yang pertama di antara para nabi dalam penciptaan, tapi yang terakhir dalam kerasulan’.”
Yang Pertama Tercipta
Konsep nur Muhammad, bila memperhatikan hadits yang dikutip oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di atas, telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah juga mengatakan kepada Jabir terkait dengan hal itu, “Nur nabimu, wahai Jabir, kemudian Allah SWT menciptakan segala kebaikan dari nurku.”
Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Namun demikian, insan kamil yang muncul di setiap zaman semenjak zaman Nabi Adam hingga akhir zaman nanti, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diungkap dalam surah Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung.” Sementara sebuah hadits menyebutkan. “Aku adalah penghulu anak-cucu Adam.” Dan dalam redaksi hadits lainnya disebutkan, “Aku telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad.”
Redaksi kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal, yaitu jalinan antara makhluk dengan Khalik-nya. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Penciptanya.
Baik nur Muhammad maupun Nabi Muhammad SAW, keduanya adalah ciptaan Allah SWT. Hanya saja, yang menghubungkan keduanya adalah penghubung yang tak terpisahkan. Nur Muhammad sebagai awal penciptaan tidak dapat dipisahkan dari Nabi Muhammad SAW, yakni Muhammad yang mempunyai nur. Allah menciptakan nur Muhammad agar dari sana makhluk dan alam tercipta secara zhahir.
Secara lahiriah, nur Muhammad adalah cahaya Allah, dalam arti bahwa nur Muhammad identik dengan kesempurnaan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah Ta’ala. Sebagai pribadi, pribadi Rasulullah SAW adalah pribadi yang dapat memberi contoh dalam mewujudkan sifat, nama, dan af’al (perbuatan) Allah SWT.
Adapun secara bathiniah, kedudukan tinggi Nabi Muhammad atau nur Muhammad SAW tersirat dari sebuah hadits Nabi SAW yang maknanya, “Cahaya yang pertama diciptakan Allah adalah cahayaku.” Juga sebuah hadits lainnya, “Sesungguhnya Allah SWT, ketika menciptakan Arasy, menulis padanya La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan cahaya.”
Keterangan yang tersirat dari hadits tersebut menunjukkan, nur Muhammad digambarkan sebagai nur dari Allah sedang Nabi Muhammad SAW berasal dari “nur dzat” semata. Keduanya adalah baharu, ciptaan Allah SWT.
Makna di Balik Ungkapan
Saat digambarkan nur Muhammad sebagai wujud tajalli (penampakan) Allah dan Muhammad sebagai ciptaan Allah, dari sini kelihatan bahwa Allah SWT menempatkan Nabi Muhammad SAW pada martabat yang tinggi, sebagai rasul pembawa risalah, sebagai penerang bagi alam semesta, beroleh pengetahuan akan hal yang ghaib, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan, sejumlah nama yang ditujukan untuk nur Muhammad sebenarnya bermakna satu, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Hubungan nur Muhammad dengan Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam ungkapan yang berbeda tetapi bermakna satu, tampaknya menyalahi kaidah umum. Karena berdasarkan beberapa nash dan teori, Muhammad SAW diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan rasul dalam usia 40 tahun, sebagai nabi terakhir, dan yang dilahirkan melalui ibu dan ayah. Sementara nur Muhammad adalah nur dari Allah SWT yang pertama kali diciptakan oleh-Nya. Pandangan itu disepakati oleh para ulama tasawuf lewat isyarat Al-Quran dan hadits.
Perbedaan tersebut tampaknya sulit dipertemukan, karena nur Muhammad adalah awal ciptaan Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Dalam hal ini An-Nabhani berpendapat bahwa istilah pengucapanlah yang membedakan, namun dalam prinsipnya bermakna satu. Sebagai analoginya, hal ini dapat diamati ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, terkadang Malaikat Jibril berbentuk nur dan terkadang berbentuk sesuai keadaannya.
Selain itu, seandainya syari’at Nabi Muhammad datang bersamaan awal datangnya nur Muhammad, syari’at Nabi Adam AS dan syari’at para nabi dan rasul lainnya tidak akan bermakna dan bermanfaat sebagaimana mestinya, karena tentunya akan tergeser dengan kesempurnaan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, salah satu hikmah didahulukannya syari’at Nabi Adam AS dan nabi-nabi lainnya dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad SAW adalah agar syari’at yang Allah turunkan kepada umat manusia dapat berjalan sesuai dengan kondisi dan zaman yang terus berproses sesuai sunnatullah.
Demikian pula diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir dan berbentuk manusia sebagaimana bentuk manusia lainnya. Hal tersebut dikarenakan obyek dan sasaran dakwahnya adalah juga manusia, yang sama bentuknya, sehingga tugas kenabian dan kerasulan mencapai sasaran karena sifatnya sama. Andai kata Nabi Muhammad SAW datang dalam bentuk nur Muhammad, tugas risalahnya tidak akan tercapai, karena sasaran dakwahnya berbeda bentuk dan sifatnya.
Hal itu juga sebagaimana yang disinggung dalam sebuah ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan bahwa cahaya Rasulullah SAW itu bersinar meliputi seluruh alam semesta. Seperti halnya bila Rasulullah berjalan di jalan raya, maka semerbaklah bau harum darinya, sehingga aroma itu dijumpai pada setiap jalan yang telah dilewatinya.
Masalah nur Muhammad memang masalah hakikat. Masalah abstrak. Ia berada dalam ruang lingkup keimanan. Dalam hal ini, An-Nabhani kemudian merujuk pada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Quran, seperti Maryam, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mempunyai hal (keadaan) dan maqam (kedudukan) istimewa, sehingga keadaan yang mereka alami (peroleh) tidak dapat dipahami bila hanya disimak melalui akal pikiran atau melalui pancaindra. Kisah-kisah seperti Maryam yang melahirkan tanpa suami, dan Nabi Isa AS yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, adalah kejadian yang sangat luar biasa, dan hanya dapat dipahami melalui mata hati dan keimanan.
Kesempurnaan Sifat Rasulullah SAW
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam kitab Simthud Durar-nya kemudian menerangkan proses selanjutnya dari perjalanan nur Muhammad itu, “Dan manakala kebahagiaan abadi menampakkan pengamatannya yang tersembunyi mengkhususkan manusia yang dipilihnya dengan kekhususan yang sempurna, dititipkannya cahaya terang benderang ini pada berbagai sulbi dan rahim yang dimuliakan di antara penghuni jagat raya dan berpindah-pindah dari sulbi Adam, Nuh, dan Ibrahim, sehingga pada akhirnya sampailah ia ke ayahnya yang terpilih menerima kehormatan tiada terhingga, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang bijak dan berwibawa, serta ibundanya Aminah yang mulia, yang selalu merasa aman dan tenteram meskipun di tengah apa saja yang menggelisahkan….”
Setelah kelahirannya, akhlaq mulia Rasulullah SAW mengundang decak kagum setiap mata yang memandangnya dan setiap telinga yang mendengar perangai kebaikannya. Kesemuanya itu tak lain merupakan cerminan dari kesempurnaan sifat yang telah Allah pantulkan dari sifat-sifat-Nya yang sempurna.
Namun secara lahiriah, sebagaimana yang diterangkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, seorang muhaddits kenamaan, kesempurnaan dan keutamaan akhlaq Nabi Muhammad SAW itu lantaran hati yang bersih dan suci yang dimilikinya. Berdasarkan keterangan Al-Maliki, kebersihan dan kesucian hati Nabi Muhammad SAW melalui empat proses pembedahan (pembersihan).
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW masih kecil. Kedua, ketika Nabi Muhammad SAW berusia sepuluh tahun. Hikmah pembedahan hati Nabi Muhammad pada usia ini karena pada usia sepuluh tahun adalah usia mendekati dewasa.
Ketiga, pada saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah ketika Malaikat Jibril datang membawa wahyu saat beliau diangkat menjadi nabi. Hikmah pada pembedahan ini adalah menambah kemuliaan padanya, serta kekuatan dan persiapannya menerima dan menyampaikan wahyu yang akan disampaikan kepadanya, agar beliau kuat serta dalam kedudukan yang sempurna dan suci.
Yang terakhir, atau yang keempat, adalah saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah pada malam Isra. Hikmah pada pembedahan ini adalah mengangkat derajat kemuliaan Nabi Muhammad SAW serta kesiapannya berada di sisi Allah SWT.
Keterangan Al-Maliki di atas sejalan dengan konsep nur Muhammad yang identik dengan kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan. Dengan demikian, ungkapan nur Muhammad selalu dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad-lah yang memiliki keadaan dan sifat sempurna tersebut, baik secara jasmaniah maupun ruhaniah. IY
Sumber Majalah Alkisah

Rabu, 12 Oktober 2011

Nur Muhammad, Antara Makhluk dan Sang Khaliq


Nur Muhammad, Antara Makhluk dan Sang Khaliq


Hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Pencipta-nya.

Nur adalah cahaya. Sementara An-Nur adalah Sang Cahaya, salah satu Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah. Nur adalah cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah. Nur Muhammad adalah cahaya Muhammad. Terkadang ia juga disebutkan sebagai Haqiqah Muhammadiyah, artinya  sebuah realitas Muhammad atau realitas kemuhammadan yang diciptakan sebelum penciptaan alam. Nur Muhammad inilah yang pertama kali diciptakan Allah. Dan dari nur Muhammad inilah kemudian Allah Ta’ala menciptakan alam semesta dan isinya.
Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dalam kitab Maulid-nya, Simthud Durar, menuliskan perihal nur Muhammad, “Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang termasyhur bahwa sesuatu yang awal mula diciptakan Allah SWT adalah cahaya yang tersimpan dalam pribadi agung (Muhammad SAW) ini. Maka cahaya manusia inilah makhluk pertama yang muncul dalam penciptaann-Nya. Darinya berasal seluruh wujud alam ini yang baru datang ataupun yang sebelumnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanadnya yang bersambung sampai kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia pernah bertanya, ‘Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang diciptakan Allah sebelum makhluk lainnya.’
Rasulullah menjawab, ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan cahaya nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan yang lain.’ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Aku adalah yang pertama di antara para nabi dalam penciptaan, tapi yang terakhir dalam kerasulan’.”
Yang Pertama Tercipta
Konsep nur Muhammad, bila memperhatikan hadits yang dikutip oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di atas, telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah juga mengatakan kepada Jabir terkait dengan hal itu, “Nur nabimu, wahai Jabir, kemudian Allah SWT menciptakan segala kebaikan dari nurku.”
Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Namun demikian, insan kamil yang muncul di setiap zaman semenjak zaman Nabi Adam hingga akhir zaman nanti, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diungkap dalam surah Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung.” Sementara sebuah hadits menyebutkan. “Aku adalah penghulu anak-cucu Adam.” Dan dalam redaksi hadits lainnya disebutkan, “Aku telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad.”
Redaksi kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal, yaitu jalinan antara makhluk dengan Khalik-nya. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Penciptanya.
Baik nur Muhammad maupun Nabi Muhammad SAW, keduanya adalah ciptaan Allah SWT. Hanya saja, yang menghubungkan keduanya adalah penghubung yang tak terpisahkan. Nur Muhammad sebagai awal penciptaan tidak dapat dipisahkan dari Nabi Muhammad SAW, yakni Muhammad yang mempunyai nur. Allah menciptakan nur Muhammad agar dari sana makhluk dan alam tercipta secara zhahir.
Secara lahiriah, nur Muhammad adalah cahaya Allah, dalam arti bahwa nur Muhammad identik dengan kesempurnaan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah Ta’ala. Sebagai pribadi, pribadi Rasulullah SAW adalah pribadi yang dapat memberi contoh dalam mewujudkan sifat, nama, dan af’al (perbuatan) Allah SWT.
Adapun secara bathiniah, kedudukan tinggi Nabi Muhammad atau nur Muhammad SAW tersirat dari sebuah hadits Nabi SAW yang maknanya, “Cahaya yang pertama diciptakan Allah adalah cahayaku.” Juga sebuah hadits lainnya, “Sesungguhnya Allah SWT, ketika menciptakan Arasy, menulis padanya La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan cahaya.”
Keterangan yang tersirat dari hadits tersebut menunjukkan, nur Muhammad digambarkan sebagai nur dari Allah sedang Nabi Muhammad SAW berasal dari “nur dzat” semata. Keduanya adalah baharu, ciptaan Allah SWT.
Makna di Balik UngkapanSaat digambarkan nur Muhammad sebagai wujud tajalli (penampakan) Allah dan Muhammad sebagai ciptaan Allah, dari sini kelihatan bahwa Allah SWT menempatkan Nabi Muhammad SAW pada martabat yang tinggi, sebagai rasul pembawa risalah, sebagai penerang bagi alam semesta, beroleh pengetahuan akan hal yang ghaib, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan, sejumlah nama yang ditujukan untuk nur Muhammad sebenarnya bermakna satu, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Hubungan nur Muhammad dengan Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam ungkapan yang berbeda tetapi bermakna satu, tampaknya menyalahi kaidah umum. Karena berdasarkan beberapa nash dan teori, Muhammad SAW diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan rasul dalam usia 40 tahun, sebagai nabi terakhir, dan yang dilahirkan melalui ibu dan ayah. Sementara nur Muhammad adalah nur dari Allah SWT yang pertama kali diciptakan oleh-Nya. Pandangan itu disepakati oleh para ulama tasawuf lewat isyarat Al-Quran dan hadits.
Perbedaan tersebut tampaknya sulit dipertemukan, karena nur Muhammad adalah awal ciptaan Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Dalam hal ini An-Nabhani berpendapat bahwa istilah pengucapanlah yang membedakan, namun dalam prinsipnya bermakna satu. Sebagai analoginya, hal ini dapat diamati ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, terkadang Malaikat Jibril berbentuk nur dan terkadang berbentuk sesuai keadaannya.
Selain itu, seandainya syari’at Nabi Muhammad datang bersamaan awal datangnya nur Muhammad, syari’at Nabi Adam AS dan syari’at para nabi dan rasul lainnya tidak akan bermakna dan bermanfaat sebagaimana mestinya, karena tentunya akan tergeser dengan kesempurnaan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, salah satu hikmah didahulukannya syari’at Nabi Adam AS dan nabi-nabi lainnya dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad SAW adalah agar syari’at yang Allah turunkan kepada umat manusia dapat berjalan sesuai dengan kondisi dan zaman yang terus berproses sesuai sunnatullah.
Demikian pula diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir dan berbentuk manusia sebagaimana bentuk manusia lainnya. Hal tersebut dikarenakan obyek dan sasaran dakwahnya adalah juga manusia, yang sama bentuknya, sehingga tugas kenabian dan kerasulan mencapai sasaran karena sifatnya sama. Andai kata Nabi Muhammad SAW datang dalam bentuk nur Muhammad, tugas risalahnya tidak akan tercapai, karena sasaran dakwahnya berbeda bentuk dan sifatnya.
Hal itu juga sebagaimana yang disinggung dalam sebuah ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan bahwa cahaya Rasulullah SAW itu bersinar meliputi seluruh alam semesta. Seperti halnya bila Rasulullah berjalan di jalan raya, maka semerbaklah bau harum darinya, sehingga aroma itu dijumpai pada setiap jalan yang telah dilewatinya.
Masalah nur Muhammad memang masalah hakikat. Masalah abstrak. Ia berada dalam ruang lingkup keimanan. Dalam hal ini, An-Nabhani kemudian merujuk pada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Quran, seperti Maryam, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mempunyai hal (keadaan) dan maqam (kedudukan) istimewa, sehingga keadaan yang mereka alami (peroleh) tidak dapat dipahami bila hanya disimak melalui akal pikiran atau melalui pancaindra. Kisah-kisah seperti Maryam yang melahirkan tanpa suami, dan Nabi Isa AS yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, adalah kejadian yang sangat luar biasa, dan hanya dapat dipahami melalui mata hati dan keimanan.
Kesempurnaan Sifat Rasulullah SAWHabib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam kitab Simthud Durar-nya kemudian menerangkan proses selanjutnya dari perjalanan nur Muhammad itu, “Dan manakala kebahagiaan abadi menampakkan pengamatannya yang tersembunyi mengkhususkan manusia yang dipilihnya dengan kekhususan yang sempurna, dititipkannya cahaya terang benderang ini pada berbagai sulbi dan rahim yang dimuliakan di antara penghuni jagat raya dan berpindah-pindah dari sulbi Adam, Nuh, dan Ibrahim, sehingga pada akhirnya sampailah ia ke ayahnya yang terpilih menerima kehormatan tiada terhingga, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang bijak dan berwibawa, serta ibundanya Aminah yang mulia, yang selalu merasa aman dan tenteram meskipun di tengah apa saja yang menggelisahkan….”
Setelah kelahirannya, akhlaq mulia Rasulullah SAW mengundang decak kagum setiap mata yang memandangnya dan setiap telinga yang mendengar perangai kebaikannya. Kesemuanya itu tak lain merupakan cerminan dari kesempurnaan sifat yang telah Allah pantulkan dari sifat-sifat-Nya yang sempurna.
Namun secara lahiriah, sebagaimana yang diterangkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, seorang muhaddits kenamaan, kesempurnaan dan keutamaan akhlaq Nabi Muhammad SAW itu lantaran hati yang bersih dan suci yang dimilikinya. Berdasarkan keterangan Al-Maliki, kebersihan dan kesucian hati Nabi Muhammad SAW melalui empat proses pembedahan (pembersihan).
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW masih kecil. Kedua, ketika Nabi Muhammad SAW berusia sepuluh tahun. Hikmah pembedahan hati Nabi Muhammad pada usia ini karena pada usia sepuluh tahun adalah usia mendekati dewasa.
Ketiga, pada saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah ketika Malaikat Jibril datang membawa wahyu saat beliau diangkat menjadi nabi. Hikmah pada pembedahan ini adalah menambah kemuliaan padanya, serta kekuatan dan persiapannya menerima dan menyampaikan wahyu yang akan disampaikan kepadanya, agar beliau kuat serta dalam kedudukan yang sempurna dan suci.
Yang terakhir, atau yang keempat, adalah saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah pada malam Isra. Hikmah pada pembedahan ini adalah mengangkat derajat kemuliaan Nabi Muhammad SAW serta kesiapannya berada di sisi Allah SWT.
Keterangan Al-Maliki di atas sejalan dengan konsep nur Muhammad yang identik dengan kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan. Dengan demikian, ungkapan nur Muhammad selalu dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad-lah yang memiliki keadaan dan sifat sempurna tersebut, baik secara jasmaniah maupun ruhaniah. IY

AWAL CIPTAAN MAKHLUK (MANUSIA) DAN NUR MUHAMMAD


Awal ciptaan makhluk (Manusia) dan Nur Muhammad saw

In Cerita Sufi on March 4, 2009 at 7:43 am
Awal ciptaan makhluk (Manusia) dan Nur Muhammad
Di bawah ini merupakan petikan dari Buku “Sirr al-Asrar” oleh As-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, halaman 10 hingga 16.
Makhluk yang pertama yang di ciptakan oleh Allah adalah Ruh Muhammad saw. Ia diciptakan dari cahaya ‘Jamal’ Allah. Sebagaimana firman Allah di dalam hadis Qudsi “Aku ciptakan ruh Muhammad dari cahaya Zat Ku”.
Nabi Muhammad saw, juga bersabda: “Yang pertama diciptakan oleh Allah ialah ruh ku. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah cahaya ku. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah qalam. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah akal”.
Ruh, cahaya, qalam dan akal pada dasarnya adalah satu yaitu hakikat Muhammad.
Hakikat Muhammad di sebut “nur”, karena bersih dari segala kegelapan yang menghalangi untuk dekat kepada Allah sebagaimana firman Allah “Telah datang kepada mu cahaya dan kitab penerang dari Allah”.
Hakikat Muhammad di sebut juga akal, karena ia yang menemukan segala sesuatu. Hakikat Muhammad disebut qalam karena ia yang menjadi sebab perpindahan ilmu (seperti halnya mata pena sebagai pengalih ilmu di alam huruf pengetahuan yang tertulis). Ruh Muhammad adalah ruh yang termurni sebagai makhluk pertama dan asal seluruh makhluk sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Aku dari Allah dan orang-orang mukmin dari aku”.
Dan dari ruh Muhammad itulah, Allah menciptakan semua ruh di alam ‘Lahut’ dalam bentuk yang terbaik yang hakiki. Itulah nama seluruh manusia di alam Lahut. Alam Lahut adalah negeri bagi seluruh manusia. Allah menciptakan Arasy dari cahaya zat Muhammad saw. Bagitu juga makhluk lain berazal dari zat Muhammad.
Selanjutnya ruh-ruh di turunkan ke alam yang terendah, dimasukan pada makhluk yang terendah yaitu jasad. Sebagaimana firman Allah “Kemudian Aku turunkan manusia ke tempat yang terendah” Proses turunnya adalah setelah ruh diciptakan di alam Lahut, maka diturunkan ke alam Jabarut dan dibalut dengan cahaya Jabarut. Sebagai pakaian antara dua haram lapis kedua ini di sebut ruh ‘Sultani’.
Selanjutnya ia diturunkan lagi ke alam Malakut dan dibalut dengan cahaya Malakut yang disebut ruh ‘Ruhani’. Kemudian diturunkan lagi ke alam Mulki dan dibalut dengan cahaya Mulki. Lapis keempat ini di sebut ruh ‘Jismani’.
Selanjutnya Allah ciptakan badan (jasad) dari Mulki (bumi), sebagaimana firman Allah: “Dari bumi aku mencipta kamu. Kepada bumi aku mengembalikan mu. Dan dari bumi pula lah aku mengeluarkan mu”.
Setelah terwujud jasad, Allah memerintahkan ruh agar masuk ke dalam jasad, maka ruh masuk ke dalam jasad, sebagaimana firman Allah: “Ku tiupkan ruh dari Ku ke dalam jasad”.
Ketika ruh berada di dalam jasad, ruh lupa akan perjanjian awal di alam Lahut yaitu hari perjanjian: “Bukankah Aku ini tuhan mu” Ruh menjawab, “Benar, engkau adalah Tuhan kami”.
Karena ruh lupa pada perjanjian awal, maka ruh tidak dapat kembali ke alam Lahut sebagai tempat asal. Karena itu, dan kasihnya Allah menolong mereka (manusia) dengan menurunkan kitab-kitab samawi sebagai peringatan tentang negeri asal mereka, sesuai dengan firman Allah “Berikanlah peringatan pada mereka tentang hari-hari Allah”, yaitu hari pertemuan antara Allah dengan seluruh arwah (ruh) di alam Lahut. Lain halnya dengan para nabi, mereka datang ke bumi dan kembali ke akhirat, badannya di bumi, sedangkan ruhnya berada di negeri asal karena adanya peringatan ini.
Sangat sedikit orang yang sadar dan kembali serta berkeinginan dan sampai ke alam asal mereka. Karena sedikitnya manusia yang mampu kembali ke alam asal, maka Allah melimpahkan kenabian kepada ruh agung Muhammad Rasulullah, penutup penunjuk jalan dari kesesatan ke alam terang. Ia ditulis untuk mengingatkan mereka yang lupa membuka hatinya. Nabi mengajak manusia agar kembali dan sampai serta bertemu dengan ‘Jamal Allah’ yang azali, sesuai dengan firman Allah: “Katakanlah, Ini adalah jalan Ku. Aku mengajak ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas. Aku dan para pengikut Ku”.
Nabi bersabda “Para sahabat ku seperti bintang-bintang, mengikuti yang mana pun kamu akan mendapat petunjuk”.
Pada ayat tadi dijelaskan bahwa Nabi mengajak manusia kembali kepada Allah dengan pandangan yang jelas, yang di dalam Al-Quran di sebut ‘basyirah’. Basyirah adalah dari ruh asli yang terbuka pada ‘Mata Hati’ bagi para aulia. Basyirah tidak akan terbuka hanya dengan Ilmu Zahir saja, tetapi untuk membukanya harus dengan Ilmu Ladunni Batin (ilmu yang langsung dari Allah). Sesuai dengan firman Allah “Kepada dia Ku berikan ilmu yang langsung dari Ku”.
Untuk menghasilkan basyirah, manusia mengambilnya dari ahli basyirah dengan mengambil talqin dari seorang wali mursyid yang telah berkomunikasi dengan alam lahut.
Wahai saudara ku, masuklah pada ‘tariq’ (jalan kembali kepada Allah) dan kembalilah kepada Tuhan mu bersama golongan ahli ruhani. Waktu sangat sempit, jalan hampir tertutup dan sulit tempat untuk kembali ke negeri asal (Alam Lahut).