Minggu, 26 Februari 2012

Ikhtilaf dan I’tilaf


Pada bulan-bulan ini di Kuwait, persisnya di Markaz al-Alami lil al-Wasatiyah, diadakan daurah atau training. Training selama seminggu itu sedikitnya diikuti oleh 17 kelompok dari Negara yang berbeda-beda. Semula saya, sebagai peserta, ragu jangan-jangan ini adalah training untuk menjadi Muslim moderat dalam pengertian liberal. Dari materi dan traininernya, saya menjadi tahu ini bukan liberal.
Moderat dalam mensikapi perbedaan diantara umat Islam. Materinya hampir semuanya tentang syariah, utamanya adalah Fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf  (Fiqih persatuan dan perbedaan) dan Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih Prioritas). Trainernya adalah para pakar dalam bidang syariah pula, dan yang pasti dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Untuk memahami peta ikhtilaf dalam Islam Dr.al-Bayanuni menggambar 3 lapisan lingkaran kecil sedang dan besar. Lingkaran pertama adalah perbedaan diseputar masalah ijtihadiyah. Statusnya tidak jauh dari khata’ (salah) dansawab (betul). Disini yang pertama masih mendapat pahala satu dan yang benar mendapat pahala dua.
Lingkaran kedua berkutat pada masalah yang lebih berat yaitu masalah usul atau hal-hal yang muhkamat. Statusnya adalah haqq (benar) dan batil (salah). Disini bukan masalah ijtihadiyah, karena itu bagi yang salah tidak mendapat pahala. Hukumnya adalah sesat dan harus diingatkan.
Lingkaran terakhir lebih berat lagi karena berkaitan dengan masalah usul yang menyangkut masalah keimanan. Maka, statusnya sudah bukan haqq dan batil lagi, tapi sudah Mu’min atau kafir.  
Dalam masalah ijtihadiyah, khilafiyah atau perbedaan meruncing pada masyarakat awam, tapi tidak pada ulama. Perbedaan masalah jumlah qunut sangat tajam dikalangan masyarakat bawah. Padahal, konon Imam Syafii tidak sekeras pengikutnya.
Ketika beliau berkunjung ke Baghdad ia diminta menjadi Imam oleh tokoh mazhab Hanafi. Pengikut Imam Syafii sudah tidak sabar untuk menyatakan menang atas mazhab Hanafi. Pengikut  Hanafi pun hatinya menjadi ciut. Pada rakaat kedua shalat subuh itu ternyata Imam Syafii tidak qunut. Ketika para pengikutnya protes pada Imam Syafii, beliau menjawab singkat “ta’adduban” artinya untuk menghormati pengikut Hanafi.
Ketika Buya Hamka berkunjung ke Blitar beliau diminta menjadi Imam shalat subuh. Disana mayoritas adalah pendukung Nahdhatul Ulama. Mungkin panitia sengaja menguji Hamka. Tapi Hamka yang ketua MUI dan Muhammadiyah itu ternyata melakukan qunut.
Saat ini perbedaan masalah khata dan sawab ini masih saja meruncing. Seorang anggota kelompok pengajian keluar dari dan pindah kelompok lain hanya karena ustadhnya tidak pakai baju taqwa. Seorang peserta sebuah seminar keislaman protes dan keluar ruangan gara-gara pemakalahnya tidak berjanggut. Seorang Imam tidak mulai shalatnya kecuali semua jamaah laki-lakinya mengangkat celana diatas lutut.  
Padahal dalam masalah ijtihadiyah Nabi sangat toleran. Dalam suatu perjalanan Nabi memerintahkan “Tidak ada yang shalat kecuali di Bani Quraidah” (La shalata illa fi bani quraidah).  Bagi sebagian sahabat ini perintah Nabi dan wajib ditaati. Bagi sahabat lain karena masyaqqah (kesulitan) tidak bisa mentaati perintah Nabi. Ternyata Nabi tidak marah dan tidak menghukum sahabat yang tidak shalat di Bani Quraidah. Masih banyak kasus yang lain.
Yang lebih massif lagi ikhtilaf  tahunan umat Islam Indonesia adalah masalah hari raya. Ada yang beda sehari, ada yang beda tiga hari bahkan ada yang beda seminggu. Umat Islam yang terpelajar pasti bertanya mengapa tidak menyatukan ru’yat dengan hisab? Dan mengapa ru’yat tidak diserahkan kepada para pakar astronomi atau falak? Mengapa Depag tidak mengambil otoritas ithbat melalui tim professional dari berbagai ormas, sehingga tidak ada lagi ormas yang menetapkan ithbat?
Ketika Dr.al-Bayanuni mendengar hal ini beliau mengeluarkan dalil maslahatnya. Katanya “mengikuti ijtihad yang salah tapi membawa maslahat umat lebih afdal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi mengandung madarat (bahaya)”.
Artinya terlepas dari masalah keilmuan, nampaknya maqasid syariah (maslahat) belum masuk dalam pertimbangan. Maka jika ada ormas yang menetapkan hari raya “asal beda” dari kelompok lain itu berarti telah memilih “madarat” daripada “maslahat”. Memilih ikhtilaf  (berselisih) daripada i’tilaf (bersatu). Padahal di hampir seluruh Negara Islam tidak ada perselisihan tentang awal hari raya Idul Fitri.
Lingkaran kedua tentang haqq dan batil. al-Bayanuni tidak banyak memberi contoh. Demikian pula lingkaran ketiga. Mungkin karena tujuannya adalah meredam ikhtilaf masalah furu’ umat Islam yang berkepanjangan. Tapi begitu disebut nama Nasr Hamid, Syahrur dan Arkoun beliau menyimpulkan pemikiran orang-orang ini banyak yang batil. Bahkan ada yang sudah pada lingkaran ketiga. Itulah sebabnya di Mesir Nasr Hamid di fatwa murtad.
Jadi sabda Nabi ikhtilaf umatku adalah rahmat, tidak bisa diplesetkan menjadi “perselisihan” umatku adalah rahmat. Tidak pula di kaburkan dengan “pluralisme teologis umatku adalah rahmat”. Ikhtilaf disitu sebenarnya mengandung makna i’itilaf, artinya perbedaan sudut pandang umatku dalam berbagai masalah agama adalah rahmat asalkan tetap bersatu dalam aqidah atau masalah-masalah usul. Maka pengikut mazhab ahlussunnah wal jamaah harus bersatu meskipun kelompok-kelompok didalamnya berbeda dalam masalah furu’iyah.    

Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah


Siapa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah? 
Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, menjelaskan bahwa  Ahlus Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) terdiri atas  delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irahatau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyahdan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja  menolak pandangan  kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang  yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.
Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat.  Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat .
Menyimpang

Para ulama Aswaja juga menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah.  Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk.
Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb.  Prinsip ini memberikan pengajaran tentang bagaimana menyikapi ayat-ayat dan hadis, supaya tidak tergolong dalam orang-orang yang menolaknya (ta’til) dengan alasan tidak dapat diterima oleh akal rasional, atau golongan yang cenderung menerimanya secara harfiyyah tanpa pemahaman yang mendalam sehingga menyalahi apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya sendiri.
Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a.  Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al-Rasyidun tanpa prejudis. Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks).
Mereka juga sepakat bahwa para imam yang empat (mazhab fiqh) adalah yang imam-imam yang mu’tabar (otoritatif). Perbedaan antara mereka adalah perbedaan khilafiyyah yang dibenarkan,  dan ijtihad yang satu tidak membatalkan ijtihad yang lain. Hal yang sama harus digunakan dalam menyikapi perbedaan antara al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi dan tasawuf. Jika Ibn Taymiyyah berbeda dan mengkritik al-Ghazali,  umat Islam tidak harus menganggapnya sebagai satu bentuk penyesatan,  melainkan satu ijtihad yang boleh jadi benar boleh jadi salah (al-khata’ wa al-sawab),  bukan persoalan al-haq (benar) dan al-batil (sesat). Jika ditelusuri dengan lebih lanjut golongan Salafiyyah umumnya berpegang kepada al-Aqidah al-Tahawiyyah dan golongan Asya’irah berpegang kepada A’qa’id al-Nasafi yang jika dibuat perbandingan jelas bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil.
Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Kerana itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan mengundang fitnah yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini untuk mengelakkan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang dengan mudah menghalalkan darah orang Islam.
Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan,  karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).

Kerangka Pemikiran Aswaja memiliki pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu.  Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika,  Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni.  Prinsip ini adalah pemaduan antara  teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.
Aswaja juga memadukan antara kekuatan rohani, aqli dan jasadi (material).Teks-teks aqidah juga membahas persoalan karamah para wali, kedudukan mereka di sisi Allah, kemungkinan para ulama  yang benar mendapatkan ilham dan diberikan ilmu yang tidak diberikan kepada orang biasa meskipun mereka tidak ma’sum. Juga dijelaskan  kedudukan mereka yang istimewa sebagai pewaris para nabi.
Ulama Aswaja juga tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja  menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum  Yahudi dan Nasrani.
Ketika para ulama Aswaja  mempunyai pendirian yang tegas terhadap golongan sesat --  karena jelas kesesatannya --  pada saat yang sama, mereka  mengambil pendekatan yang tasamuh (berlapang dada) terhadap perbedaan-perbedaan di dalam kalangan Sunni itu sendiri. Aswaja membedakan persoalan-persoalan tsawabit (yang tetap) dengan persoalan mutaghayyirat (yang berubah), yang muhkamat (jelas) dan mutasyabihat (tidak jelas).
Dalam perkara yang tsawabit, karena teksnya jelas (qath’i) dan tidak mengundang khilaf antara ulama, mereka harus bersepakat dan tidak boleh berbeda pendapat dari segi prinsipnya. Namun dalam perkara yang mutaghayyirat, yang memerlukan penafsiran, para ulama bergantung dengan kemampuan dan kefahaman masing-masing. Mereka boleh berbeda dan tidak sewajarnya memaksakan pendapat terhadap orang lain, khususnya jika pandangan orang lain itu memiliki dasar yang juga kuat untuk berbeda pendapat.
Disinilah perbedaan (ikhtilaf) menjadi rahmat, dan ijtihad masing-masing ulama mendapat pahala yang baik di sisi Allah, asalkan dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan amanah ilmiah. Pandangan mereka harus diterima dan ditolak mengikut kekuatan hujah masing-masing. Keterbukaan ini sewajarnya dapat menghindarkan umat Islam dari perangkap fanatisme, ta’assub dan berfikiran sempit sehingga cenderung mudah menyesatkan saudaranya seiman.
Ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern.  Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu.
Memahami sejarah dan pemikiran Islam klasik semacam ini sangat penting sebagaimodal untuk menghadapi tantangan pemikiran saat ini. Sarjana-sarjana besar, seperti Dr. Muhammad Iqbal, sering mengingatkan agar umat Islam melihat sejenak ke belakang untuk dapat maju ke depan. Ada kaidah dan rumusan yang telah diwariskan generasi awal (al-salaf al-shaleh) yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Sebab, sejarah sebenarnya sering berulang dengan aktor-aktor yang berbeda. Dan orang yang cerdas adalah yang dapat mengambil pelajaran dari masa lalu. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)