Minggu, 29 April 2012

Hidup Ini Pilihan Bukan Ikutan

Wake Up Project - Hidup Ini Pilihan Bukan Ikutan


Hidup ini adalah 'pilihan', bukan semata-mata sebuah 'kenyataan' yang perlu dijalani. Ramai yang menilai kehidupan ini berdasarkan 'kenyataan' yang dilihat dengan kedua bola matanya hingga terlupa bahawa setiap manusia sebenarnya perlu membuat 'pilihan' sebelum menerima apa yang 'nyata' di pandangan.

Kita jangan cenderung mengikut dengan hanya melihat 'kenyataan' cara hidup kebanyakan manusia di dunia akhir zaman hari ini yang penuh fitnah dan permainan melalaikan selagi kita sendiri tidak yakin dan pasti adakah kehidupan yang di'pilih' oleh mereka itu bakal membawa ke Syurga atau Neraka.

Kerana hakikatnya setiap 'pilihan' yang kita buat sepanjang hayat kehidupan di dunia ini akan menentukan bagaimana nasib kita di negeri Akhirat nanti. Maka, lihatlah terlebih dulu ke dalam Al Quran dan Sunnah Nabi yang sarat dengan panduan memberi petunjuk lengkap jalan mana yang harus di'pilih' demi menjamin kebahagiaan di Akhirat kelak.

Fahamilah, hidup ini adalah 'pilihan' kerana itu kita dikurniakan Al Quran dan As Sunnah sebagai pedoman memilih jalan yang selamat. Jika kita meninggalkan kedua-duanya, dan sekadar menjalani hidup berdasarkan'kenyataan' yang dilihat pada kehidupan atas muka bumi ini semata-mata maka kita sebenarnya sengaja membiarkan diri ini cenderung mengikut manusia ramai yang tertipu dengan fitnah dunia.

Jika selama ini kita hanya mengikut arus kehidupan tanpa berfikir panjang, maka berusahalah menilai kembali cara hidup kita berpandukan kepada kitab Allah s.w.t dan cara hidup Rasulullah s.a.w, semoga kita masih sempat 'memilih' jalan hidup yang Lurus dan mendapat keredhaan Allah s.w.t.

Sabtu, 28 April 2012

Himpunan Sajak2 TAUHID & TASAUF oleh Abuya At-Tamimi


Himpunan Sajak2 TAUHID & TASAUF oleh Abuya At-Tamimi

" Rasa Bertuhan Setiap Waktu "

Kalau setiap detik dan waktu kita rasa bertuhan
Ke mana kita pergi dan berada rasa itu dibawa bersama
Terasa kita dilihat hingga ke lubuk hati kita
Terasa di dengar-Nya hingga gerakan hati kita


Luar dan dalam batin kita diketahui-Nya
Kuasa-Nya tidak pernah lekang pada diri kita
Dia boleh buat apa sahaja dengan kehendak dan kuasa-Nya


Kalau dia berkata: sakit, sakitlah kita
Jika Dia berkata sihat, sihatlah kita
Bila dia berkata nahas, nahaslah kita
Dia berkata patah, patahlah kita


Begitulah seterusnya Dia berkata pandai, pandailah kita
Hiduplah, matilah berlaku pada kita
Tentulah rasa takut dengan Tuhan setiap masa
Apabila takut dengan Tuhan, takut pula dengan dosa


[ Last edited by Mawar Merah at 16-1-2006 05:10 PM ]

Waktu, Anugerah Yang Tak Ternilai


Waktu, Anugerah Yang Tak Ternilai

Berkali-kali Allah Ta’ala bersumpah atas nama waktu. “Demi Dhuha”, Demi Fajar, Demi Subuh, Demi cahaya merah pada waktu senja, Demi Malam, Demi Siang, dan Demi Masa.” Sumpah Allah yang berulang kali atas nama waktu menunjukkan betapa pentingnya waktu dalam kehidupan manusia.
Ibadah yang menjadi tujuan hidup seorang Muslim juga tidak terlepas dari waktu. Fikih ibadat, muamalat, jinayat dan munakahat terkait erat dengan waktu. Shalat, puasa, zakat fitrah, haji, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, talak, ‘iddah, ruju’, akikah, haid, nifas, pegadaian, secara langsung melibatkan waktu. Shalat lima waktu secara jelas menunjukkan waktu sebagai esensi utama dari shalat. Disebut salat Subuh karena dikerjakan pada waktu subuh. Bahkan tepat waktu dalam shalat merupakan perbuatan yang paling disukai Allah Ta’ala. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis dari Abdulllah bin Mas’ud RA yang berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, pekerjaan apa yang paling disukai Allah?” Rasulullah SAW berkata: “Shalat tepat waktu.” (as-shalatu ‘ala waqtiha).
Waktu merupakan karunia Allah kepada manusia. Waktu menjadi pengukur terhadap kesuksesan dan kegagalan, kesenangan dan kesedihan, kesehatan dan penyakit. Orang yang berhasil adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk meraih cita-citanya. Sebaliknya, orang yang gagal adalah orang yang mensia-siakan waktunya. Rasululullah SAW juga pernah bersabda: “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia merugi, yaitu sehat dan kosong. Waktu yang merupakan karunia, jika tidak dimanfaatkan maksimal, bisa berubah menjadi bencana.
Waktu bukan saja memiliki nilai materi, tetapi juga nilai ukhrawi. Waktu lebih berharga daripada emas, waktu adalah uang, adalah ungkapan nilai material waktu. Namun, waktu juga memiliki nilai ukhrawi. Pengunaan waktu di dunia akan berdampak kepada pertanggung-jawaban di akhirat. Rasulullullah SAW bersabda: “Tidaklah mata kaki seorang hamba di hari kiamat tergelincir sehingga akan ditanya umur yang dihabiskannya, ilmunya yang telah diamalkannya, hartanya darimana ia perolehnya dan kemana diinfakkannya, dan masa mudanya kemana ia pergunakannya.”  
Mengingat pentingnya waktu, para ulama kita terdahulu benar-benar menggunakannya semaksimal mungkin dalam hidupnya. Kesadaran yang begitu mendalam tentang waktu mendorong mereka untuk bekerja keras, menjadi penulis yang sungguh produktif, memiliki disiplin yang tinggi. Mereka telah mewarnai peradaban dunia. Mereka mendahului zamannya. Imam al-Tabari, misalnya, menulis kurang lebih sekitar 350 ribu halaman. Tafsir at-Tabari pada awalnya berjumlah 30 ribu halaman. Begitu juga sejarah atau Tarikh at-Tabari, awalnya juga berjumlah 30 ribu halaman. Imam Fakhruddin ar-Razi, sering berpuasa karena waktu untuk makan, dimanfaatkannya untuk belajar. Bayangkan dengan kondisi kita saat ini, justru ketika kita berpuasa, etos belajar semakin melempem. Imam Syafi’i menghabiskan waktu di bulan Ramadhan dengan mengkhatamkan al-Qur’an dua kali dalam shalatnya. Artinya di bulan Ramadhan, Imam Syafi’i membaca al-Qur’an kurang lebih 60 kali khatam di dalam shalatnya.
Ibnu Rusyd selama hidupnya hanya dua malam yang tidak digunakannya untuk belajar, yaitu saat malam pernikahannya dan malam meninggal ayahnya. Imam Bukhari menghabiskan waktunya untuk menghafal sekitar 100 ribu hadis. Para ulama kita terdahulu juga memanfaatkan waktunya dengan menulis ratusan judul buku. Terkadang satu judul buku bisa mencapai berjilid-jilid. Mereka sungguh telah mewarnai peradaban dunia. Mereka telah mewariskan banyak sekali karya yang hingga saat inipun kita masih rasakan manfaatnya. Semua prestasi itu disebabkan kesadaran mereka yang begitu mendalam tentang nilai waktu.   
Sayangnya, saat ini, kaum Muslimin banyak yang mengabaikan waktu. Masyarakat menghabiskan waktu dengan hal-hal yang kurang bahkan tidak bermanfaat. Suasana malam minggu menunjukkan anak-anak muda berkumpul, menghabiskan waktunya untuk kegiatan hura-hura. Acara tv sering menyuguhkan beribu-ribu orang menghabiskan malam minggu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Mungkin hampir setiap anak di Indonesia saat ini pernah bermain game, baik itu via handphone, warnet game online ataupun sarana lainnya. Hampir setiap remaja saat ini menghabiskan waktunya dengan jejaring sosial seperti facebook, twitter, chatting, dan sebagainya. Hampir setiap pemuda menghabiskan waktunya dengan berkumpul-kumpul sambil ngalor-ngidul bersama teman-temannya. Jika kesadaran terhadap waktu, belum apalagi tidak terpatri, tampaknya kebangkitan Islam adalah mustahil untuk diraih.

“Dapur”, “Sumur” dan “Kasur”


“Dapur”, “Sumur” dan “Kasur”

Senin (23/4/2002) malam, di satu TV swasta, seorang bintang tamu, perempuan anggota DPR, berucap:  dulu kiprah perempuan hanya berkisar pada “dapur”,  “sumur”, dan “kasur”.  Sekarang, sudah lebih maju.  TV-TV lain pernah juga menampilkan sosok-sosok perempuan  yang dianggap sukses, maju, dan perkasa: mulai anggota DPR, pilot pesawat tempur, penyelam, petinju, sopir truk, tukang ojek, sopir bus, sampai tukang tambal ban.
Ungkapan yang memandang remeh urusan “dapur”,  “sumur”, dan “kasur” sering kali terdengar.  Beberapa profesi bagi perempuan dianggap maju karena kiprahnya tak lagi berkisar seputar  “dapur”, “sumur”, dan “kasur”.  Suatu saat, dalam sebuah rapat, saya mendengar seorang dosen (perempuan) berucap: “Saya tidak suka, kalau ada buku anak  yang masih menulis: ayah membaca koran, ibu memasak di dapur!”

Kita tentu sepakat, perempuan harus “maju”, “pandai”, “bebas dari penindasan” dan sebagainya! Masalahnya, yang “maju” apanya? Kadangkala, demi mengejar “kemajuan”, berbagai cara dilakukan!  Ada buku berjudul  Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah (Pusat Studi Wanita UIN Yogya, 2004).  Buku ini mengkritisi buku ajar di Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, yang dianggap bias gender.  Contoh:  di buku Pelajaran Fiqh,  Kelas 4 Ibtidaiyah, ada gambar laki-laki sedang bekerja membangun masjid.  Gambar semacam itu dikomentari: “Gambar yang ditampilkan nampak bias, sebab jika dicerna bahwa gambar tersebut membawa dampak pada perempuan itu tidak dapat bekerja menjadi tukang (membangun masjid), yang dapat menjadi tukang itu adalah laki-laki.” (hal. 36).
Ada lagi buku berjudul: Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Pusat Studi Jender,  IAIN Walisongo Semarang (2002), yang isinya mengecam diskriminasi gender dalam hal pembedaan batas aurat antara laki-laki dan perempuan:  “ Aurat laki-laki ditentukan hanya antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan meliputi seluruh tubuhnya (ada yang mengecualikan muka dan dua telapak tangannya). Ketentuan ini memberi kebebasan dan kelonggaran kepada kaum laki-laki. Sebaliknya, menekan kaum perempuan... Adilkah diskriminasi semacam ini?”  (hal.134-135).
Sebagai solusi, agar tak diskriminatif, dipinjam pendapat Muhammad Syahrur, pemikir liberal asal Syiria:  tubuh perempuan yang wajib ditutup HANYA daerah antara dan bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat. (hal. 141).  Soal diskriminasi aurat laki-laki dan perempuan juga pernah dikecam Jurnal Perempuan edisi 47: “RUU-APP secara nyata mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual yaitu “sebagian payudara perempuan”. Sementara sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual.” (hal. 36-37).
Agar perempuan benar-benar “maju”, soal “kepala keluarga” juga diusik!  Contoh, buku berjudul: Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002), menyimpulkan: kepala rumah tangga tidak harus laki-laki: “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik. (hal. 91).
Padahal, menurut pasal 70, draf sementara RUU-Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG), semua bentuk diskriminasi  akan “dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”
*****
Karena memandang rendah urusan “dapur”, “sumur” dan “kasur”, ada yang berpikir, menjadi anggota DPR, gubernur, menteri, duta besar, presiden, lebih mulia ketimbang menjadi Ibu Rumah Tangga. Perempuan disuruh  bangga karena tak lagi hanya mengurus  “dapur”, “sumur” dan “kasur”.  Negara pun dipaksa mengikuti pola pikir ini! Negara wajib menyediakan jatah minimal 30% anggota DPR untuk perempuan. Meskipun diskriminatif, tapi demi kemajuan perempuan, harus ditetapkan.  Katanya, ini indikator kemajuan bangsa! Targetnya, kesetaraan nominal 50:50 di ruang publik antara laki-laki dan perempuan.
Kini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18 persen. Bandingkan angka itu dengan negara lain: di AS keterwakilan perempuan di parlemen 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%,  Malaysia 9,9%, Brazil 8,6%.  Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3%, Nepal 33,2%, Tanzania 36%, dan Uganda 34,9%, Ethiopia 27,8%. (Sumber: Women in Parliament (November 2011), http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).
Apa Rwanda lebih maju dari Jepang?  Kini, dalam draf RUU-KKG, tuntutan keterwakilan 30% bagi perempuan diperluas lagi ke seluruh lembaga pemerintah, non-pemerintah,  sampai organisasi kemasyarakatan. (pasal 4, ayat 2).

Pola pikir ‘gender equality’ nominal 50:50 tampaknya lahir akibat memandang remeh urusan “dapur”, “sumur”, dan “kasur”.  Padahal, urusan “dapur” memerlukan Ilmu Gizi yang tinggi. Bahkan, dari urusan “dapur”,  lahirlah restoran-restoran terkenal dengan nama “Ibu”, Mbok”, “Mak” dan sebagainya.  Kadang, si “Mbok”  bisa lebih terhormat dan lebih besar penghasilannya dibanding gaji anggota DPR!
Urusan  “sumur “ tarkait dengan masalah air, yang juga terkait dengan keilmuan, dan berkembang menjadi industri  raksasa.  Urusan “kasur” pun tak kalah vitalnya . Dari urusan “kasur” inilah muncul para dokter spesialis dan terapis alternatif yang sangat diburu banyak orang. 
Karena itu, dalam Islam, laki-laki dan perempuan – apa pun posisinya – wajib mencari ilmu, dari lahir sampai mati.  Tugas dan peran bisa berbeda. Seorang professor pernah bercerita. Suatu saat istrinya – yang juga professor—berkata: “Pak, saya lelah, saya mahu berhenti bekerja!”  Sang professor menjawab: “Itu enaknya kamu jadi perempuan! Boleh berkata seperti itu! Kalau saya, tidak boleh berkata begitu. Sebab, itu kewajiban saya!”
Jadi, jangan pandang remeh urusan “dapur”, “sumur” dan “kasur”!  Sudah terbukti,  kepiawaian meramu  “dapur”, “sumur”, dan “kasur”  telah  membuat sejumlah perempuan mampu mengatur elite-elite negara, tanpa perlu begadang pagi siang malam membahas Undang-undang, lalu berurusan dengan KPK pula!
Dan bagi Muslimah shalihah, posisi apa pun tak masalah. Yang penting untuk ibadah; menggapai bahagia, bersama ridha Allah dan ridha suami yang saleh. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
NB.
  • Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di halaman  opini, Harian REPUBLIKA, Rabu 25 April 2012
  • Kunjungi adianhusaini.com

Selasa, 24 April 2012

Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Jenis Kelamin Bayi


Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Jenis Kelamin Bayi

Senin, 23 April 2012, 13:40 WIB
youtube
  
Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Jenis Kelamin Bayi
Janin dalam rahim
REPUBLIKA.CO.ID,  Pada awalnya, manusia meyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh sel-sel ibu. Ada pula yang percaya bahwa jenis kelamin ini ditentukan secara bersama oleh sel-sel lelaki dan perempuan. 

Jauh sebelum ilmu pengetahuan mengetahui tentang rahasia jenis kelamin bayi, pada abad ke-7 M, Alquran telah memberi tahu bahwa jenis kelamin laki-laki atau perempuan diciptakan "dari air mani apabila dipancarkan".

Mari simak surah An-Najm [53] ayat 45-46:  "Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan." 

Menurut Harun Yahya, kromosom Y membawa sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X berisi sifat-sifat kewanitaan. Di dalam sel telur ibu hanya dijumpai kromosom X, yang menentukan sifat-sifat kewanitaan. 

Di dalam air mani ayah, terdapat sperma-sperma yang berisi kromosom X atau kromosom Y saja. Jadi, jenis kelamin bayi bergantung pada jenis kromosom kelamin pada sperma yang membuahi sel telur, apakah X atau Y. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, penentu jenis kelamin bayi adalah air mani, yang berasal dari ayah. Pengetahuan tentang hal ini, yang tak mungkin dapat diketahui di masa Alquran diturunkan, adalah bukti akan kenyataan bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah.

''Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi yang diberikan Alquran ini,'' ujar Harun Yahya.

Menurut dia, kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam proses penentuan jenis kelamin ini.

Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Dua dari 46 kromosom yang menentukan bentuk seorang manusia diketahui sebagai kromosom kelamin. Dua kromosom ini disebut "XY" pada pria, dan "XX" pada wanita. 

Menurut dia, penamaan ini didasarkan pada bentuk kromosom tersebut yang menyerupai bentuk huruf-huruf ini. Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan.

Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu dari kromosom ini, yang pada pria dan wanita ada dalam keadaan berpasangan. Pada wanita, kedua bagian sel kelamin, yang membelah menjadi dua selama peristiwa ovulasi, membawa kromosom X.
Sebaliknya, sel kelamin seorang pria menghasilkan dua sel sperma yang berbeda, satu berisi kromosom X, dan yang lainnya berisi kromosom Y. Jika satu sel telur berkromosom X dari wanita ini bergabung dengan sperma yang membawa kromosom Y, maka bayi yang akan lahir berjenis kelamin pria.

''Dengan kata lain, jenis kelamin bayi ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel telur wanita,'' papar Harun Yahya.

Tak satu pun informasi ini dapat diketahui hingga ditemukannya ilmu genetika pada abad ke-20. Bahkan di banyak masyarakat, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh pihak wanita. Inilah mengapa kaum wanita dipersalahkan ketika mereka melahirkan bayi perempuan.

Namun, tiga belas abad sebelum penemuan gen manusia, Alquran telah mengungkapkan informasi yang menghapuskan keyakinan takhayul ini, dan menyatakan bahwa wanita bukanlah penentu jenis kelamin bayi, akan tetapi air mani dari pria.

RUU KKG, Apakah Adil Harus Setara?; reload


RUU KKG, Apakah Adil Harus Setara?

Senin, 23 April 2012, 14:17 WIB
remajaindonesia.org
  
RUU KKG, Apakah Adil Harus Setara?
Persamaan gender (ilustrasi).
Menyoal permasalahan bangsa ini, nampaknya semakin bertambah saja dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Suara pro-kontra mulai bermunculan sejak RUU ini dibahas secara terbuka di Senayan. 

Ketika mendengar pertama kali, mungkin banyak di antara kita menganggap RUU ini merupakan solusi bagi kaum Hawa untuk menyejajarkan diri dengan kaum Adam. Selama ini dirasakan bahwa banyak hak kaum Hawa yang “dikebiri” oleh kebudayaan. Namun, ketika kita menelisik lebih jauh lagi, maka RUU ini malah akan menimbulkan berbagai masalah yang akan timbul di masyarakat.

Istilah gender sendiri memiliki arti yang berbeda dari jenis kelamin. Jenis kelamin memiliki sifat yang kodrati dan membedakan antara kaum Adam dengan kaum Hawa, dari segi biologis. Contohnya seperti mengandung bagi kaum Hawa, dan mimpi basah bagi kaum Adam. 

Gender membedakan kaum Adam dengan kaum Hawa dari sifat non-biologi, seperti peran, tugas dan tanggung jawab sosial. Sementara, berdasarkan RUU KKG Pasal 1 Ayat 1, “Gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari suatu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Satu hal yang perlu diperhatikan, dalam cuplikan ayat tersebut dinyatakan bahwa gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Terdapat hal yang janggal di sini, karena kita tahu bahwa agama - dalam hal ini Islam - juga mengatur peran baik bagi kaum Hawa dan kaum Adam. 

Islam mengatur tugas, peran dan tanggung jawab antara kaum Hawa dan Adam, baik di ruang domestik (baca: keluarga) maupun di ruang publik (baca: masyarakat). Berdasarkan sudut pandang Sang Pencipta Alam Semesta yang tertuang dalam Alquran. Sehingga tidak semua tugas, peran dan tanggung jawab merupakan hasil konstruksi budaya, seperti yang terjadi pada bangsa Barat. 

Dengan tidak adanya kata “agama”, cukup menunjukkan bahwa ada kepentingan kaum feminis dalam RUU ini. Menelaah konsep adil dalam undang-undang ini, adil diartikan sebagai penyamaan atas semua hal yang mencakup hak dan kewajiban antara kaum Adam dan kaum Hawa, tanpa batasan dan tanpa adanya pembedaan. Cukup aneh jika adil berarti setara atau sama dan tanpa batasan maupun pembeda. 

Menurut Jubir (juru bicara) Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Ust. Ismail Yusanto, dalam diskusi terbuka di Gelanggang Mahasiswa UGM tentang RUU KKG, menjelaskan bahwa konsep adil dalam islam itu jelas meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ini menunjukkan bahwa adil itu membedakan yang beda dan menyamakan yang sama. Sehingga, ketika kata "adil" dan "setara" itu diletakkan pada satu kalimat, maka hal itu akan menimbulkan kontradiksi.

Hal demikian dapat dianalogikan sebagai berikut. Seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga dianalogikan sebagai penjaga gawang dalam tim sepak bola, dan seorang pria sebagai kepala rumah tangga dalam keluarga dianalogikan sebagai penyerang dalam tim sepak bola. Maka, jika peran penjaga gawang dan penyerang disetarakan, seorang penyerang diperbolehkan pula memegang bola layaknya penjaga gawang. Tentu saja, semua pemain termasuk gelandang dan pemain bertahan juga memiliki hak yang sama. Jika hal ini terjadi, maka yang tercipta bukanlah tim sepakbola lagi, melainkan tim rugby. Begitu pula keluarga, jika peran seorang istri dan suami disamakan, maka keluarga tersebut tak akan menjadi keluarga yang utuh.

Menyoal diskriminasi dalam RUU KKG, diskriminasi diartikan sebagai berikut, “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”

Konsep diskrimisasi ini menunjukkan, bahwa salah satu bentuk diskriminasi yaitu pembedaan antara kaum Hawa dan kaum Adam. Menurut Islam, pembedaan ini bukan menjadi suatu bentuk diskriminasi, tetapi itu merupakan upaya mengatur tatanan sosial agar lebih baik dan terstruktur. 

Dalam sebuah rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri, Islam telah mengatur tugas pokok keduanya yang memang berbeda. Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu, maka sebuah rumah tangga akan terstruktur dengan baik. Hal serupa juga diungkapkan Helgeson (2005), bahwa penggunaan gender yakni untuk menata kehidupan sosial yang merupakan aspek yang mendasar dalam kehidupan manusia. (Helgeson,VS. 2005. Psychology of Gender (2nd.ed). New York: Prentice Hall)

Menurut  Time edisi 8 Maret 1999, memuat artikel berjudul “The Real Truth About Women Bodies”, mengungkapkan bahwa wanita secara alamiah, biologis, dan genetik memang berbeda. Perbedaan ini yang mengakibatkan tidak mudah mengubah faktor tersebut dalam kehidupan sosial wanita. Terlebih lagi, faktor psikologis dan sifat antara kaum Hawa dan kaum Adam yang memang berbeda.  

Oleh sebab itu, perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak mungkin, melainkan juga tidak realistis. Intinya, keadilan yang diusung dalam RUU KKG bukanlah keadilan yang merepresentasikan makna keadilan sesungguhnya. Karena keadilan tidak selalu dapat diidentikan dengan kesetaraan. Dan jika RUU ini tetap dipaksakan untuk disahkan, hanya akan menjadi racun bagi tatanan sosial masyarakat di negara ini.


Agung Nugraha Sulistiyana

Mahasiswa Elektronika dan Instrumentasi UGM