Senin, 30 Januari 2012

Menimbang Kembali Maqasid Syariah http://jemaah-islam.blogspot.com/2011/11/menimbang-kembali-maqasid-syariah.html


Menimbang Kembali Maqasid Syariah


Oleh M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar Redaksi:

Dalam wacana keagamaan modern, istilah maqâshid asy-syarî‘ah sering dilontarkan terutama oleh para cendekiawan Muslim akhir-akhir ini. Istilah ini sebetulnya merupakan istilah lama yang digagas oleh Imam Asy-Syatibi, yang kemudian kembali dipopulerkan. Persoalannya, istilah tersebut tidak hanya sekadar dipopulerkan kembali, tetapi juga diberi muatan makna baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang dimaksud penggagas awalnya.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pandangan Taqiyuddin An-Nabhani tentang maqâshid asy-syar‘îah dalam kitab ushul fikihnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, pada bab, “Maqâshid asy-Syar‘îah”. Pandangan An-Nabhani secara umum berbeda dengan Asy-Syatibi, karena menurut An-Nabhani, maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Dalam kitab ushul fikihnya ini, An-Nabhani menolak dan mengkritik pandangan Asy-Syatibi secara mendasar. Kendati pun kemudian terkesan lebih ketat, konsep An-Nabhani tersebut menunjukkan keunggulannya. Sebab, di samping kekuatan hujahnya, konsepnya juga dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqâshid asy-syar‘îah secara gegabah untuk membenarkan ide-ide Barat yang kufur. Pandangan An-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip penting : (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqâshid asy-syar‘îah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan syariat tidak selalu terwujud; (4) hikmah penerapan syariat hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.

Konsep maqâshid asy-syarî‘ah berasal dari seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Asy-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-maqâshid. Menurut Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3).

Selanjutnya Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharûriyât beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl) (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqâshid asy-syarî‘ah. (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, II/1046-1051).

Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqâshid asy-syarî‘ah ternyata banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama (hifzh ad-dîn) ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal) sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion)”; tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql) diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of thought)”.(*) Jadi, konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.

Syariat dan Maslahat

Sebelum memahami konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah, ada baiknya kita meninjau sekilas berbagai pendapat ulama tentang kaitan hukum syariat dengan kemaslahatan, yakni apakah hukum-hukum syariat itu didasarkan pada ‘illat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia? Muhammad Husain Abdillah dalam Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh (1995: 273) menyatakan bahwa para ulama dalam masalah ini terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat:

Pertama, pendapat ulama Asy‘ariyah dan Azh-Zhahiriyah. Mereka menolak bahwa syariat didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan ungkapan lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Menurut mereka, mungkin saja Allah menetapkan suatu hukum syariat yang tidak mengandung maslahat. Hanya saja, mereka mengakui, bahwa studi yang komprehensif (istiqrâ’) menetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam lima perkara: menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan harta.

Kedua, pendapat sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah. Mereka menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat. Akan tetapi, maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (bâ’its ‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (as-sabab) daripada ‘illat.

Ketiga, pendapat Muktazilah, Maturidiyah, ulama Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabilah. Mereka memandang bahwa hukum-hukum syariat didasarkan pada ‘illat maslahat, tanpa ada taqyîd (pembatasan) adanya kehendak (irâdah) Allah Swt. Namun, mereka mensyaratkan, penetapan maslahat sebagai ‘illat syariat tidak boleh bertentangan dengan nash.

Dari pemetaan pendapat ini, secara garis besar dapat dikatakan bahwa pendapat Taqiyuddin an-Nabhani mengenai kaitan maslahat dan syariat sama dengan pendapat pertama, yakni syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat.

Maslahat: Hikmah Penerapan Syariat
Prinsip pertama konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan ‘illat penetapan syariat. Jadi, pada dasarnya An-Nabhani mengakui adanya hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi saw. adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra (17) ayat 82 dan QS al-Anbiya’ (21) ayat 107. Namun demikian, An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-bâ‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (nâtijah), tujuan (ghâyah), atau akibat (‘âqibah) dari penerapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359 & 363).
Mengapa demikian? Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt. berikut:

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl. Jadi, maksud ayat ini, bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Muhammad saw. adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359-360). Pandangan An-Nabhani ini berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam (Lihat: Al-Muwâfaqât, II/2-3).

Maqâshid asy-Syarî‘ah: Tujuan Syariat Keseluruhan
Prinsip kedua konsep An-Nabhani dalam maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum.
Pandangan ini juga berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa kemaslahatan adalah ‘illat bagi syariat, baik secara keseluruhan maupun satu demi satu hukum secara rinci (Lihat: Al-Muwâfaqât, II/3).

Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ (21) ayat 107 di atas, yang menurutnya dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah (petunjuk) apa pun dari ayat tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ [17]: 82) bahwa maslahat merupakan tujuan masing-masing hukum (An-Nabhani, 1953: 359-361).

Karena itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘ (Allah) menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya hanya bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28); tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS al-Maidah [5] : 91); tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut [29]: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata lain, tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah mencapai kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah dicontohkan. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil akli, bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil akli.

Hikmah Tidak Selalu Terwujud
Prinsip ketiga An-Nabhani dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Jadi, ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah mengatakan tujuannya pasti terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka. Mengenai khamr dan judi, Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia (QS Al-Maidah [5]: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamr dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.

Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada manfaatnya, haji menjadi tidak wajib. Keharaman khamr dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini tidak benar.

Atas dasar itu, prinsip ketiga ini semakin menegaskan, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif pensyariatan hukum, melainkan hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan hukum (An-Nabhani, 1953: 365).
Hikmah Hanya Diketahui Secara Syar‘î

Prinsip keempat konsep maqâshid asy-syarî‘ah An-Nabhani adalah bahwa hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya. Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara akli maupun syar‘î, dapat mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali jika kita mengetahuinya melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah (An-Nabhani, 1953: 366).

Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah [2]: 183). Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.

Implikasi
Apa implikasi dari prinsip-prinsip maqâshid asy-syarî‘ah menurut Taqiyuddin An-Nabhani di atas? Di antaranya adalah tidak menjadikan maslahat sebagai dalil hukum syariat. Jadi, tidaklah benar apa yang dikatakan sebagai kaidah fikih: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah) (Al-Khayyath, 1982). Kaidah itu, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya ketika diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi paham utilitarianisme atau pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai standar untuk mengukur salah benarnya perbuatan (Athiyat, 1996: 103-104; Suparman & S. Malian, 2003: 45-49). Bisa saja kemudian bunga bank yang sebenarnya termasuk riba yang haram, lalu dianggap mubah hanya karena maslahat (Al-Qardhawi, 2002: 54; Az-Zuhaili, 1996: 336).

Implikasi penting lainnya, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah haruslah secara disiplin diketahui berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga agama’ maksudnya adalah ‘menjaga kebebasan beragama’, atau ‘menjaga akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’, jelas ini kesimpulan akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat. Di samping itu, pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati tanpa landasan dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu hanya fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak malu untuk melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran. []

*Pernyataan ini penulis dengar langsung dari Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), saat penulis satu forum dengannya sebagai panelis dalam diskusi panel di Unissula, Semarang,
Sabtu, 9 Agustus 2003.

Daftar Pustaka
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qanûn al-Wadh‘î. Beirut: Mu’assah Ar-Risalah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram (Fawâ’id al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Harâm). Alih bahasa Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Juz III (Ushûl al-Fiqh). Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ta‘lîq [Komentar] oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Tharîq: Dirâsah Fikriyyah fî Kayfiyah al-‘Amal li Taghyîr Wâqi‘ al-Ummah wa Inhâdhihâ. Beirut: Darul Bayariq.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
———-. 1996. ‘Fawâ’id al-Masharif (Al-Bunûk) Harâm Harâm Harâm.’ Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). hlm. 336-359. Beirut: Darul Fikr.
Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Yogayakarta: UII Press.

Wake Up Project - 31 Peristiwa Sepanjang 2012?


Wake Up Project - 31 Peristiwa Sepanjang 2012?

Apakah Anda masih dihantui oleh ramalan tentang 2012? Ramalan suku Maya bahawa pada 21 Disember 2012 merupakan akhir dari waktu dunia yang dengan kata lain disebutkan sebagai hari kiamat "Dooms Day", memang menakutkan dan menggerunkan.

Pengarah Hollywood, Roland Emmerich, dengan berani menggambarkan apa yang berkemungkinan terjadi pada tahun 2012 di dalam sebuah filem barat dengan tajuk ‘2012’. Hasilnya sangat amat luar biasa, filem itu meletup dan termasuk ke dalam senarai "box office". Tetapi untuk pengetahuan para pembaca semua di dalam Al Qur’an juga terdapat ‘penjelasan’ mengenai perkara-perkara yang akan berlaku disepanjang tahun 2012, tetapi yang pastinya ia bukanlah hari kiamat kerana "kiamat" itu adalah rahsia Allah s.w.t

“Dan pada sisi Allah jualah anak kunci perbendaharaan segala yang ghaib, tiada sesiapa yang mengetahuinya melainkan Dialah sahaja; dan ia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut; dan tidak gugur sehelai daun pun melainkan ia mengetahuinya, dan tidak gugur sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak gugur yang basah dan yang kering, melainkan (semuanya) ada tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz) yang terang nyata.” |Qs. al-An’am :59|.

Mengikut pendapat seorang pengkaji iaitu Ali Adam, kelulusan dari University of Technology, Iraq, dan guru Bahasa Inggeris, Bournemouth University. Mendedahkan di dalam bukunya yang bertajuk ‘al-Quran pada tahun 2012′. Dengan menggunakan teknik matematik, Adam percaya bahawa kitab suci Al Quran ini punya penjelasan yang tersendiri mengenai apa yang akan berlaku disepanjang tahun 2012, mengenai masanya, dan berapa kali perkara "itu" akan berlaku.

Untuk pengetahun semua, selama ini para penyelidik telah mengetahui dimana Al Qur’an memiliki bentuk dan struktur huruf-huruf yang sangat teratur. Kitab yang diturunkan Allah s.w.t kepada Nabi Muhammad s.a.w ini bukan hanya memiliki keselarasan dan keteraturan di dalam makna-makna dan petunjuk-petunjuknya, terkandung juga di dalam setiap ayatnya keselarasan dan keteraturan di dalam jumlah kata dan pengulangan huruf-hurufnya.

Ajaibnya Kitabullah ini membuat para ahli numerologi tergoda untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di balik keselarasan dan keteraturan tersebut. Setelah melakukan penelitian, seorang dari mereka, yakni ‘Abd ad-Da’im al-Kahil, dalam buku berjudul “Misteri Nombor 7 dalam Mukjizat Matematik Al Qur’an” mengungkapkan, ayat-ayat, surah-surah, kata-kata, dan huruf-huruf dalam Al Qur’an telah diatur Allah s.w.t dengan sistem yang berunsurkan pada digit 7. Ini dijelaskan melalui keselarasan dengan beberapa fenomena kehidupan seharian ummat islam iaitu, di dalam seminggu ada 7 hari. Bumi dan langit terdiri dari 7 lapis. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji melakukan 7 kali putaran sa’i, 7 putaran thawaf, dan 7 kali melempar jumrah. Terdapat 7 golongan yang dinaungi Allah pada Hari Kiamat. Terdapat 7 larangan Allah s.w.t kepada ummat manusia. Terdapat 7 sifat perosak dan sebagainya.

Selama melakukan penyelidikan, Adam membahagikan Al-Quran yang terdiri daripada 114 surah dan 6.236 ayat, kepada dua bahagian, iaitu surah pembukaan dan surah Pautan. Surah Pembukaan adalah surah al-Fatihah yang seperti kita sedia maklum disebut sebagai Ummul Qitab (Ibu Segala Ayat), sedang Surah Pautan adalah surah-surah lain, seperti surah al-Baqarah, an-Nisa, dan lain-lain.

Surah Al-Fatihah, menurut Adam, merupakan petunjuk dalam mengungkap pesan-pesan Allah s.w.t yang terkandung di dalam 113 surah lainnya(Surah pautan). Surah ini mengandungi 7 ayat, kata-katanya yang berjumlah 29, dan huruf-hurufnya yang berjumlah 139 (cuba lihat pada Surah Al Fatihah). Jumlah ayat, kata dan huruf surah al-Fatihah ini merupakan nombor perdana.

“Jadi kata kunci atau kod untuk menyingkap pesan-pesan dalam Al Qur’an adalah pada bilangan nombor perdana,” - Adam.

Lalu mereka mengkaji pula surah-surah pautan, dan perhatian mereka tertumpu kepada surah Ar-Rahman yang merupakan surah ke-55. Di dalam surah ini terdapat ayat yang diulang sebanyak 31 kali yang membawa bermaksud:

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Ayat-ayat yang diulang tersebut berada pada ayat ke-13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 69, 71, 73, 75, dan 77 (silakan baca surah ar-Rahman). Jika semua angka-angka itu dijumlahkan, maka jumlahnya adalah 1433 dengan menggunakan teknik primalogi (bahagian dari teknik numerical), maka angka 1433 dapat dijumlahkan menjadi 1+4+3+3 = 11 (nombor perdana).

Adam mengaku, dirinya keliru untuk mentafsir makna nombor 1433 tersebut, sebelum akhirnya menyedari bahawa kita pernah berada pada tahun 1433 H(2011 Masihi) dan tahun ini kita berada di dalam tahun 1433H(2012 Masihi). Keyakinan Adam semakin kuat apabila angka 1433 merujuk kepada tahun hijrah, kerana ketika ia memadankan antara jumlah perkataan yang berada di dalam surah ar-Rahman dengan bilangan hari pada tahun 2012, keduanya sama, iaitu jumlah kata dalam surah ar-Rahman sebanyak 355 perkataan, dan jumlah hari pada 2012 sebanyak 355 hari, bukan 356 hari(cuba kita merujuk kepada kalendar 2012).

Bukan itu sahaja penemuan Adam ini Kerana ayat “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” diulang sehingga 31 kali, dia percaya disepanjang tahun 2012 akan berlaku 31 kejadian/peristiwa ayng dahyat dan akan menggoncang kehidupan manusia di bumi, tetapi yang pastinya ia bukanlah kiamat. Dijangkakan juga bahawa setiap kejadian akan berlaku selama 4 hari berikutan di dalam ayat tersebut yang diulang terdiri dari empat kata.

Sabda Rasulullah: Dari Huzaifah al-Ghifari r.a berkata, sewaktu kami sedang berbincang, tiba-tiba datang Rasulullah s.a.w kepada kami lalu bertanya: “Apakah yang kamu semua sedang bincangkan?”

Lalu kami menjawab: “Kami sedang berbincang mengenai hari kiamat.” Sabda Rasulullah s.a.w: “Sesungguhnya kiamat itu tidak akan terjadi sebelum kamu melihat sepuluh tanda: Dukhan (kabut asap), Dajjal, Dhab al-Ardh (binatang melata yang boleh berbicara), matahari terbit dari barat, turunnya Isa, munculnya Ya’juj Ma’juj dan tiga gerhana, gerhana di timur, barat dan Semenanjung Arab dan terakhir api yang keluar dari Yaman yang akan menghantar manusia ke Mahsyar.” (Hadis Riwayat Muslim).

Mungkinkah dari 31 peristiwa yang akan berlaku terdapat 10 tanda ini?..Wallahualam..



Blogger lilou said...
Aasalamualaikum masuk hari ii dah berapa hari saya cuba fahami maksud terhadap artikel di blog admin niecuma bagi pendapat saya orang awam yang, tak ada ilmu untuk tafsir quran pakai nombor dan prime numbers dan numerologi. Kurang tepat. Admin sendiri maklm bahawa sha nya nak tafsir dan ijtihad hadis dan quran ada guideline yang amat ketat? Rasulullah MURKA kalau ada orang tak berilmu betul yang nak tafsir quran...

1. ketahui selok belok bahasa arab, ia membantu memahami alQuran yang TURUN DALAM BAHASA ARAB
2. mengetahui adat kebiasaan orang-orang arab kerana hal ni membantu memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan adat mereka
3. mengetahui keadaan orang Yahudi dan Nasrani pada masa turunnya alQuran
4. mengetahui SEBAB TURUNNYA AYAT DAN QARINAH yang berkaitan, diterangkan oleh Al-Wahidi
"Tak mungkin memahami tafsir sesuatu ayat tanpa mengetahui riwayat dan keterangan turunnya ayat tersebut."
5. Mempunyai kefahaman yang tinggi dan ketajaman pengamatan.

Quran tak boleh ditafsir tangkap muat oleh pentafsir tak bertauliah, para ulama dah letakkan syarat kat orang yang nak tafsir Quran, iaitu dengan meletakkan ilmu yang diwajibkan ada untuk TAHU cara mentafsir Quran.
ini adalah untuk melindungi Quran dari pemesongan dan penyelewengan OLEH PIHAK YANG MAHU MENGGUNAKAN QURAN DEMI MEMUASKAN NAFSU DAN KEPENTINGAN MASING-MASING DAN MEMELIHARA DARI PENYELEWENGAN MAKSUD QURAN

1. ilmu bahasa arab - dapat huraikan pengertian, sinonim, perkataan yang mushtarak lafzi dan mushtarak ma'nawi, dll
2. ilmu nahu - makna berbeza jika I'rabnya berbeza
3. ilmu saraf
4. ilm al-ishtiqaq - sesuatu nama yang jika diambil dari dua akar yang berbeza akan berbeza juga pengertian
5,6,7. ilmu balaghah dan cabangnya - al ma'ani, al-bayan, al-badi
8. ilmu qira'at
9. ilmu usul al-din
10. ilmu al-fiqh - dengan ilmu ni dapat difahami bagaimana menyimpulkan hukum-hukum dari ayat2 dan cara pengendalian, dengan ilmu ni boleh tahu mana yang mujmal mana mubayyan, 'umum, dan khusus, mutlaq dan muqayyad, perintah, larangan, dll

dan ada lagi TAMBAHAN 5 lagi ilmu yang perlu ada. rajin pulak aku nak tulis kat sini.

syaitan suka bila umat islam sesat dengan orang yang nak mengajar tanpa ilmu yang cukup.

nauzubillahiminzalik. ini pasal AGAMA, PASAL AL QURAN, MANA BOLEH MAIN POST BENDA YANG PASAL AGAMA DAN QURAN. ini BENDA SERIUS, BUKAN MAIN MAIN MACAM TEORI KONSPIRASI ILLUMINATI FREEMASON TU.
January 15, 2012 5:23 PM
Blogger seigneur de la guerre said...
Terima kasih di atas saranan dan teguran pihak saudara..saya mengambil ia sebagai perkara yang positif..

Dalam artikel kali ini saya membentangkan penafsiran al quran melalui neumorologi.

Tidak pula mememinta saudara atau pembaca yang lain untuk mengimani perkara ini..tetapi sekadar berfikir.

Perkara ini mula tersingkap selepas kejadian 9/11 dimana terdapat surah yang jelas mengenai perkara itu.

Surah At-Taubah terletak pada Juzuk 11 menunjukkan tarikh 11 haribulan kejadian tersebut. Sedangkan angka 9 yang menunjukkan bulan September bersamaan dengan kedudukan Surah At-Taubah pada surah yang ke 9 mengikut urutan surah Al-Quran.

Ayat 109. ternyata jumlah tingkat di WTC ada 109 tingkat.

Kejadian tersebut pada tahun 2001, setelah dihitung-hitung jumlah huruf pada Surah At-Taubah ada 2001 ayat..Adakah ia merupakan satu kebetulan?

Al-Quran merupakan sumber segala ilmu pengetahuan. Hal terbaik yang dapat diminta daripada kitab suci ini ialah dorongannya kepada manusia supaya berfikir. Di dalam al-Quran tidak terdapat suatu hukum yang bersifat melumpuhkan akal manusia untuk memikirkan kandungn maknanya dan tiada sesuatu perkara pun yang merintangi akal untuk mencari pelbagai ilmu yang bersifat luas. Maksudnya, al-Furqan tidak melarang mereka mencari ilmu dan berfikir, asalkan masih dalam ruang lingkup kebenaran seperti kata ungkapan ‘buat apa sahaja selagi benar’, bahkan al-Quran menggesa manusia berfikir dan mencari ilmu pengetahuan. Ia menjamin cara berfikir yang sihat dan pandangan yang benar terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang diciptakanNya sebagai saranan kepada manusia agar beriman kepadaNya. Berfikir adalah suatu perkara yang amat diperlukan bagi memahami semua bentuk peringatan, sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud:

Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku hanyalah mengajar dan menasihati kamu dengan satu perkara sahaja, iaitu: hendaklah kamu bersungguh-sungguh berusaha mencari kebenaran kerana Allah semata-mata, sama ada dengan cara berdua (dengan orang lain), atau seorang diri; kemudian hendaklah kamu berfikir sematang-matangnya (untuk mengetahui salah benarnya ajaranKu" |Qs. Saba’: 46|

Al Quran merupakan Rahsia Allah, Al Quran juga petunjuk disepanjang masa, artikel kali ini bukan menyentuh mengenai "Penterjemahan Al Quran dari sudut bahasa". Sekian (=
January 15, 2012 10:50 PM
Blogger racYnc said...
benar,admin hanya membentangkan pendapat..tiada paksaan utk mempercayainya.teori konspirasi freemason yg melata di internet juga majoritinya mengarut.tak mungkin rahsia terbesar senang2 kita perolehi di internet,sementelah internet ini jua ciptaan puak zionis dengan agenda terahsia.freemason adalah freemason,zionis adalah zionis.walau apa kepercayaan kita,jgn terlalu taksub.ibu segala kebenaran itu mudah,tuhan itu ada & tuhan itu satu.segala kebenaran yg hakiki sgt sukar diterima akal.tugas kita untuk mencari kebenaran-Nya.apa saja pandangan,jika berkiblatkan tuhan itu 1,perlu untuk kita mendalaminya tanpa kompromi..
January 16, 2012 7:50 PM
Blogger Abdullah said...
assalamualaikum

Disini saya sertakan channel drpd you tube berkaitan israel.Video yg dibuat oleh israelian sendiri yg mngatakan bahawa akan terbinanya israel raya pada tahun ini.Harap admin paparkan utk meningkatkan awareness dikalangan umat.

Terima kasih

http://www.youtube.com/watch?v=mdSnxQDtKZo&feature=related
January 23, 2012 11:32 AM
Blogger seigneur de la guerre said...
Wa`alaikummusalam tuan Abdullah..terima kasih dengan peringatan dan buah fikiran saudara..ensyaAllah jika berpeluang saya akan postkan mengenai perkara itu (=
January 24, 2012 2:15 AM


Pelajaran dari Kasus Syi’ah di Sampang


Pelajaran dari Kasus Syi’ah di Sampang

KASUS pembakaran rumah dan pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Desember 2011, membelakkan mata banyak orang. Peristiwa itu begitu mengejutkan, karena selama ini di berbagai media massa diceritakan, bahwa ulama dan warga Sampang yang mayoritasnya NU adalah orang-orang Muslim moderat, tidak radikal, anti-kekerasan, dan sebagainya. Gambaran itu tidak keliru. Sebab, memang warga NU atau kaum Muslim yang mayoritasnya adalah pengikut Ahlu Sunnah wal-Jamaah, memang cinta perdamaian. Ahlu Sunnah wal-Jamaah adalah ajaran yang tidak berlebihan dalam agama (ghuluw). Tetapi, mengapa kaum Ahlu Sunnah itu sampai bertindak keras dan tegas terhadap Syiah?
Saya mendengar peristiwa Sampang itu dari berita di radio. Ketika itu pejabat setempat mengatakan, bahwa konflik yang muncul itu murni urusan keluarga. Konflik antara kakak dan adik. Namun, pernyataan pejabat itu segera dimentahkan oleh berbagai fakta yang terungkap kemudian. Bahwa, kasus Sampang adalah akumulasi dari kejengkelan ulama dan umat Islam di sana terhadap penyebaran paham Syiah di Sampang dan Madura pada umumnya.
Kasus Syiah di Sampang, Madura ternyata  memiliki akar masalah yang panjang. Kasus ini sudah berlarut-larut selama bertahun-tahun.  Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura telah mengeluarkan pernyataan bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul Muluk Ma’mun di Madura – yang rumah dan mushallanya dibakar massa tahun 2012 ini -- tergolong Syi’ah Ghulah (Rafidlah). Salah satu ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah ajaran yang melecehkan para sahabat NabiMuhammad yang mulia.
Dalam pernyataannya, para ulama Madura itu mengutip isi salah satu Kitab Syiah,  Haqqul Yaqin hal:519 karangan Moh. Baqir Al-Majlisi, yang menyebutkan:
(وعقيدتنا في التبرء أننا نتبرأ من الأصنام الأربعة أبي بكر وعمر وعثمان ومعاوية، والنساء الأربع عائشة وحفصة وهند وأم حكم، ومن جميع أتباعهم وأشياعهم، وأنهم شر خلق الله على وجه الأرض، وإنه لايتم الإيمان بالله ورسوله والأئمة إلا بعد التبرء من أعدائهم)
Artinya: “Kepercayaan kami mengenai tabarru’ ialah bahwa kami berlepas diri empat berhala (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyah) serta empat orang wanita (Aisyah, Hafshah, Hindun dan Ummu Hakam) serta semua pengikut mereka dan golongan mereka. Mereka adalah makhluq Allah yg paling jahat di muka bumi. Sesungguhnya tidaklah sempurna keimanan kepada Allah, Rasul-Nya dan para imam kecuali jika seseorang telah melepaskan diri dari musuh-musuh mereka”.

Para ulama Madura itu mengimbau, agar umat Islam secara umum,  dan masyarakat Madura secara khusus, menghindarkan diri dari kelompok Syiah ini dan selalu berwaspada dari tipu muslihat mereka. “Bahwa kami menghimbau kepada Pemerintah agar melarang aliran tersebut serta menghapus hingga akar-akarnya,” begitu imbauan para ulama  Madura.
Adanya pernyataan ulama-ulama Madura itu membuktikan, bahwa kasus Syiah di Sampang, sudah bertahun-tahun menjadi duri dalam daging di Madura. Kasus ini tidak segera diselesaikan, sehingga “bara dalam sekam” itu akhirnya meledak, dan mengagetkan banyak orang. Muncullah opini seolah-olah kelompok Syiah di Indonesia tidak mendapatkan hak kebebasan beragama dari kaum Muslim Indonesia; seolah-olah mereka terzalimi.
Masalah Sampang ini tentu memerlukan kajian dan penelitian yang serius. Akan tetapi, yang jelas adalah bahwasanya, di Indonesia, kelompok Syiah terbukti sangat agresif dalam menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Ini sulit dipisahkan dari sejarah kelahiran kelompok Syiah itu sendiri, yang menganggap hak kekhalifahan Ali r.a. dirampas oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Tidak heran, jika ketiga sahabat utama Rasulillah saw itu sering menjadi bulan-bulanan caci maki kaum Syiah.
Begitu pula ummul mukminin, Aisyah r.a. yang sangat dicintai kaum Muslimin tak lepas dari berbagai fitnah dan cemoohan kaum Syiah. Padahal, Aisyah adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad saw wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah r.a. adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, KH Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Jadi, keutamaan Aisyah r.a. sudah begitu masyhur dan disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. Sangat wajar, jika kaum Muslim akan terluka hatinya jika wanita yang sangat mulia dan agung ini dicaci-maki.
*****
Di Indonesia, berbagai penerbitan kaum Syiah juga sulit menyembunyikan caci-maki terhadap para sahabat dan istri Nabi yang mulia tersebut. Padahal, dalam buku-buku tersebut, kadangkala disebutkan, bahwa penulis buku Syiah itu  mengaku ingin membangun persaudaraan dengan kaum Muslim Sunni. Sebut satu contoh, buku berjudul The Shia, Mazhab Syiah, Asal-usul dan Perkembangannya karya Hashim al-Musawi (Jakarta: Lentera, 2008). Secara halus, buku ini juga mendiskreditkan Abu Bakar dan Umar r.a. Misalnya, dalam hal pencatatan sabda Nabi Muhammad saw.
“Sumber-sumber historis mengindikasikan beragam pendapat berbeda mengenai penulisan kata-kata Nabi. Para Imam Ahlulbait Nabi yakin perlunya menulis atau mencatat kata-kata Nabi dan menjaganya dari hilang atau didistorsi. Imam Ali beserta putranya, al-Hasan, memerintahkan pencatatan sabda Nabi dan pendokumentasian sumber-sumbernya. Menurut ad-Dailami, Imam Ali berkata: “Bila kamu mencatat sebuah sabda, sebutkan juga sumbernya.” (Catatan kaki: Hasan ash-Shadr, asy-Syiah wa Finun al-Islam). Imam Ali sendiri mencatat sabda-sabda Nabi dalam sebuah surat gulungan, dan surat gulungan ini diwarisi oleh para imam keturunan Imam Ali.
Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar melarang pencatatan sabda Nabi, dan para penguasa Umayah juga memberlakukan larangan ini sampai Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan mengirim pesan berikut ini kepada warga Madinah: Carilah sabda-sabda Nabi, dan kemudian catatlah, karena aku khawatir sabda-sabda beliau akan hilang secara perlahan, dan orang-orang yang ingat sabda-sabda beliau akan meninggalkan dunia ini. Ibn Syuaib az-Zuhri adalah orang pertama yang mencatat sabda-sabda Nabi, dan setelah itu bermunculan banyak koleksi sabda Nabi.” (Catatan kaki: Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari be Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi, ed. Ke-4, 1408 (1988)).
Beginilah cara Syiah dalam menista Abu Bakar dan Umar r.a. Seolah-olah dalam masalah hadits, Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang berkhianat pada Rasulullah saw. Na’udzu billahi min dzalika.
*****
Cara kelompok Syiah dalam mengkritik kaum Sunni dalam soal ilmu hadits semacam itu tentu saja tidak fair dan tidak sesuai dengan keilmuan. Bahkan, beberapa hal  merupakan fitnah. Sebab, faktanya tidaklah seperti itu. Kitab Shahih Bukhari adalah kumpulan hadits shahih yang tertinggi nilainya. Ulama-ulama hadits mengakui hal itu. Kitab itu disusun Imam Bukhari selama 16 tahun dan telah disyarah oleh 82 ulama. Karena ketelitian yang sangat ketat, para ulama menempatkan Kitab Shahih Bukhari dalam peringkat pertama dalam peringkat keshahihan hadits. (Lihat, Suyitno, Studi Ilmu-ilmu Hadits, (Palembang: IAIN Raden Patah Press, 2006), hal. 242-243).
Masalah pencatatan hadits Nabi Muhammad saw di kalangan sahabat Nabi juga sudah dibahas dengan sangat mendalam oleh Dr. M. Musthafa al-A’zhami dalam bukunya, “Studies in Early Hadits Literature” (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000). Dalam buku yang merupakan disertasi doktornya di Cambridge University ini, al-A’zhami menunjukkan data adanya 50 sahabat Nabi yang melakukan pencatatan hadits. Termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab r.a. Berita tentang Abu Bakar yang membakar kumpulan haditsnya diragukan keabsahannya oleh adh-Dhahabi. Bukti lain yang meragukan riwayat pembakaran hadits tersebut adalah bahwasanya, Abu Bakar sendiri mengirim surat kepada ‘Amr bin al-Ash, yang memuat sejumlah ucapan Rasulullah saw.  Surat senada yang mengandung hadits Nabi juga dikirim Abu Bakar kepada Gubernur Anas bin Malik di Bahrain.
Riwayat tentang kasus pembakaran hadits oleh Umar bin Khathab juga diragukan kebenarannya. Al-A’zhami menelusuri tiga jalur riwayat berita tersebut, dan dia menemukan, semuanya mursal.  Artinya, rangkaian cerita itu terputus, tidak sampai pada Umar bin Khathab. Juga, faktanya, Umar bin Khathab mengirimkan Ibn Mas’ud dan Abu Darda’ sebagai guru ke Kufah, padahal keduanya dilaporkan memiliki catatan hadits  sebanyak 848 dan 280 buah. Umar sendiri juga terbiasa mengutip hadits-hadits Nabi  dalam surat-surat resminya sebagai kepala negara. (hal. 34-60).
Jadi, tuduhan kelompok Syiah akan kejahatan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab r.a. yang – katanya – menghalang-halangi pencatatan hadits Nabi perlu dijernihkan.Tuduhan semacam itu sangatlah tidak bersahabat dan keterlaluan.
Tahun 2009, sebuah kelompok penyebar Syiah bernama IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) juga menerbitkan sebuah buku berjudul “40 Masalah Syiah”.  Buku ini diedit oleh Jalaluddin Rakhmat, seorang pegiat paham Syiah yang terkenal. Buku ini, katanya, ditulis dengan tujuan untuk: “tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.”  Itu tujuan yang tertulis dalam sampul belakangnya. Tetapi, jika disimak isi bukunya, buku ini justru mengejek dan melecehkan kaum Muslim Indonesia yang Sunni.
Betapa tidak!  Lagi-lagi, buku semacam ini juga tak bisa lepas dari caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan. Padahal kaum Muslim sangat menghormati Ali r.a. dan Ahlulbait. Fakta sejarahnya, Ali bin Abi Thalib pun tidak mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, juga Aisyah r.a.
Dalam bab berjudul “Syiah Melaknat Sahabat” disebutkan, bahwa Syiah tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. Salah satu cara menggambarkan buruknya perilaku Utsman bin Affan adalah penghormatannya kepada al- Hakam bin abi al-ash. Padahal, orang ini sudah dilaknat Rasulullah saw. “Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat anaknya sebagai orang kepercayaannya.” (hal. 89).  
“…dan menurut al-Quran Allah melaknat orang yang menyakiti Rasulullah saw,maka Syiah melaknat orang-orang yang menyakiti Fathimah a.s.” (hal. 90). Lalu, diceritakan, bahwa Fathimah pernah kecewa kepada Abu Bakar r.a. dan tidak berbicara dengannya sampai akhir hayatnya. Ketika ia wafat, suaminya memakamkannya di malam hari dan tidak mengizinkan Abu Bakar untuk menshalatkannya. (hal. 195).
Buku ini pun memaparkan bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh Abu Bakar r.a. seperti: Menghapus hak “muallafatu qulubuhum” dan melarang penulisan hadits dan membakarnya. Sedangkan bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh Umar bin Khathab antara lain: Menentang Rasulullah saw untuk menuliskan wasiatnya dan melarang nikah mut’ah. (hal. 235).
Sebagaimana dalam kasus pencatatan hadits, tuduhan-tuduhan kelompok Syiah terhadap Utsman bin Affan juga sangat berlebihan. Kadangkala fakta ditafsirkan lain, sehingga seolah-olah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. telah melakukan  persekongkolan jahat melawan Nabi. Ibnul Arabi, dalam Kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim,  menjelaskan, kasus al-Hakam terkait dengan kesaksian Utsman r,a., bahwa Rasulullah saw telah memberikan izin kepada al-Hakam untuk kembali ke Madinah. Tetapi, Abu Bakar dan Umar tidak menerima saksi lain selain dari Utsman bin Affan, sehingga permintaan Utsman ditolak. Tetapi tidak diberitakan, saat menjadi Khalifah, Utsman menyambutnya dengan segala kemuliaan. Mengutip Ibn Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah,  Dr. Muhammad al-Ghabban menjelaskan melalui bukunya, Kitab Fitnah Maqtal Utsman,  bahwa semua riwayat tentang pengusiran Hakam adalah mursal, jadi sanadnya lemah.
Fitnah kaum Syiah di Indonesia juga pernah dilakukan melalui penerbitan buku Dialog Sunnah – Syiah karya  Syarafuddin al Musawi, (Bandung: Mizan (cet.1, 1983). Buku ini diklaim penulisnya sebagai kumpulan surat menyurat antara penulis dengan Syaikh Salim al-Bisyri al-Maliki, yang saat itu menjabat Rektor al Azhar, Mesir. Di dalamnya banyak berisi dialog yang menjelaskan antara lain: Kewajiban berpegang pada madzhab Ahlul Bait, adanya wasiat Nabi saw untuk Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai penggantinya, para sahabat tidak ma’shum (infallible) dari dosa dan kesalahan yang berimplikasi ketidakpercayaan periwayatan dari mereka, dan bahasan lain yang mendukung pemahaman Syiah.
Pokok-pokok bahasan di dalam buku tersebut telah dijelaskan kekeliruannya oleh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus dalam karyanya Ensiklopedi Sunnah Syiah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, yang diterbitkan Pustaka Al Kautsar (Jakarta, 1997). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dr. Hidayat Nurwahid, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Syiah lulusan  Universitas Islam Madinah. Dalam pengantarnya, Hidayat Nurwahid memuji keseriusan Prof. as-Salus yang berhasil menunjukkan, bahwa buku karya al-Musawi, yang aslinya berjudul al-Muraja’at,  hanyalah karangan Abdul Husein al-Musawi. Alias, dialognya adalah fiktif belaka.
*****
Begitulah, mungkin, karena kebencian yang luar biasa terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman, maka kelompok Syiah – termasuk di Indonesia – tidak dapat menyembunyikan syahwat mereka untuk mencerca para sahabat Nabi yang mulia tersebut.  Itulah fakta ajaran Syiah yang disebarkan di Indonesia melalui berbagai penerbitan mereka.  Jika manusia-manusia yang begitu mulia dan dihormati oleh kaum Muslim – seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Aisyah r.a. -- dicerca dan diperhinakan oleh kaum Syiah, apakah umat Islam bisa terima?
Ulama dan tokoh sufi terkemuka, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, dalam kitabnya, al-Ghunyah Lithaalibi Thariqil Haq,menguraikan kesesatan ajaran Syiah dan memberikan penjelasan terhadap keabsahan kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab,  Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.  Mereka semua adalah pemimpin yang mulia yang dikaruniai petunjuk Allah SWT (al-khulafa al-rasyidun).  Terhadap konflik yang pernah terjadi di masa sahabat-sahabat Nabi itu, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengimbau:
“…Sehingga masing-masing merasa memiliki  pena’wilan yang benar menurut versi mereka.  Jadi lebih baik kita mencegah diri untuk tidak mengusik-usik hal tersebut dan menyerahkannya kepada Allah sebagai hakim yang paling bijak dan wasit yang paling baik, sembari menyibukkan  diri dengan  aib kekurangan kita sendiri dan menyucikan hati kita dari dosa-dosa induk serta membersihkan zahir penampilan kita dari hal-hal yang membahayakan.” (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Buku Pintar Akidah Ahlusunnah Waljamaah, (Terj.), (Jakarta: Zaman, 2011). .
Kaum Muslim sangat mencintai Nabi dan para sahabat yang mulia. Tidak seyogyanya, ada orang yang menyimpan dendam abadi kepada manusia-manusia terbaik  yang dididik oleh Rasulullah sendiri. Bahkan, Abu Bakar, Umar bin Khathab adalah mertua Rasulullah saw. Sementara Utsman bin Affan adalah menantu Rasulullah saw.  Kaum Muslim yang masih memiliki kesadaran keimanan, tentu tidak ridho jika para sahabat Nabi yang mulia itu difitnah dan dicaci-maki.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari sudah banyak mengupas masalah Syiah, seperti disebutkan dalam  "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.
Di ketiga kitab itu, Kyai Hasyim sangat gamblang memberikan kritik-kritik terhadap ajaran Syi’ah. Menurutnya, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyyah adalah mazhab yang tidak benar. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi,  hal.7,  Kyai Hasyim mengkritik golongan yang mencaci -- bahkan mengkafirkan -- sahabat Nabi saw. Menurutnya, orang atau kelompok yang mengecam para sahabat termasuk ahli bid’ah dan sesat.  Berbagai bukti, dari dulu hingga kini, Syiah memang tidak henti-hentinya memberikan cacian terhadap sahabat-sahabat Nabi utama seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab dam Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. 
Padahal, Nabi saw bersabda: ”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabatku, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah.” Juga hadits Nabi saw:  “Apabila telah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia.” (Lebih jauh, pendapat KH Hasyim Asy’ari tentang Syiah, lihat artikel Bahrul Ulum di Jurnal Islamia Republika, 19 September 2012).
Jadi, sungguh, sangat disesalkan, kelopok Syiah di Indonesia, tidak mampu mengubur dendam sejarah yang sudah terelihara ratusan tahun itu?.*