Rabu, 25 Januari 2012

Tokoh Liberal Sudan


Abdullah Ahmad An-Na’im


Professor Abdullahi Ahmad An-Na'im
Pada tahun 2007, atas sponsor Ford Foundation dan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta,  tokoh liberal kelahiran Sudan ini pernah mengadakan perjalanan keliling di Indonesia untuk menebarkan pemikiran sekuler liberal yang digagasnya dalam buku Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari'ah (Mizan, 2007).. Buku ini sempat mendapat pujian dari beberapa cendekiawan Indonesia. Ada yang mengatakan, bahwa  ide-idenya yang menggugat Syariat Islam bisa “merekonstruksi seluruh hasil ijtihad pada fuqaha dan ‘ulama selama tiga abda pertama.”
Na’im terdidik dalam ilmu hukum, khususnya yang menyangkuthukum kriminal, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil (civil liberties). Dia pernah mengecap pendidikan di Universitas Khourtoum. Kemudian melanjutkan ke University of Cambridge dimana dia meraih gelar LL.B dan Diploma dalam Kriminologi. Pada tahun 1976, ia memperoleh gelar Ph.D dari University of Edinburgh. Sekembalinya ke Sudan dia diangkat menjadi jaksa dan pada saat yang sama menjadi dosen di alma mater-nya. Na’im juga aktif dalam politik. Sejak mudanya dia sudah menggabungkan diri dengan partai Republican Brotherhood  pimpinan Mahmud Muhammad Taha, tokoh politik yang mati ditiang gantungan dieksekusi oleh pemerintahan Numeiri karena dituduh murtad. Salah satu karya terpentingnya adalahToward an Islamic Reformation yang diterbitkan oleh Syracuse University Press, 1990. 
Sepertinya buku ini memang sengaja didedikasikan Na’im untuk “menghabisi” hukum Islam. Definisinya tentang Syariat-pun  sudah bermasalah. Dia menolak sakralitas (divinity) Syariat. Menurutnya,  Syariat adalah hasil dari proses interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah. (Toward an Islamic Reformation, 11). Na’im menyatakan kekurang setujuannya atas perbedaan yang dibuat oleh kalangan Muslim modernis antara syariat dan fiqh, karena dalam prakteknya, katanya, perbedaan ini kurang signifikan. (xiv) Syari’at, jelasnya, bukanlah totalitas ajaran Islam, tapi hanya interpretasi ulama atas sumber hukum IslamOleh karena ia hasil kontruksi ulama, maka kemungkinan untuk merubahnya tentunya, katanya lagi, masih terbuka luas. (xiv).
Pandangan Na’im sangat berbahaya dan menimbulkan implikasi yang sangat fatal. Dengan menghilangkan nilai sakralitas syariat/fiqh, ia bisa membuka ruang lebar kepada masyarakat untuk tidak mematuhi hukum-hukum Allah karena dianggap produk manusia. Tapi Na’im tidak peduli. Karena mungkin itulah yang diharapkannya. Dalam bukunya yang disebutkan diatas, Na’im malah getol menyerukan perubahan hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi manusia dan standard hukum international. “...some definite and generally agreed principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law,” (Ibid.,151) keduanya tidak mungkin dapat hidup berdampingan. (ibid., 8)
Dan andaikan kaum Muslim tetap memaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, katanya,  maka kaum Muslim akan rugi karena tidak dapat menikmati hasil sekularisasi. (Ibid., 8) Dan yang paling merasakan kerugian, menurutnya lagi, adalah masyarakat non-Muslim dan wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum lelakipun katanya akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-udang. (Ibid., 8-9) Pernyataan Na’im diatas persis seperti apa yang biasa disampaikan para orientralis seperti Elizabeth Meyer dalam bukunya Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991).
Bagi Na’im,  hanya ada satu cara agar syariat Islam bisa eksis dalam dunia modern ini yaitu dengan mereformasinya. Tapi Na’im menolak reformasi ini dilakukan dalam framework Ushul Fiqh yang ada. Sebab dalamframework ini ijtihad tidak dibenarkan pada hukum yang telah disentuh oleh secara definitif oleh al-Qur’an. Padahalhukum-hukum yang masuk dalam kategori inilah,  seperti hukum hudud dan qishas, status wanita dan non-Muslim, hukum waris dan seterusnya yang perlu di perbaharui.(Ibid., 49-50).
Sebagai alternatifnya, an-Na’im menawarkan konsep naskh terbalik yang pernah di canangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha. Esensi pendekatan ini adalah membalik proses nasakh itu sendiri. Jika selama ini ayat madaniyyah menasakhkan (menghapus) ayat makkiyah, karena yang pertama datang lebih akhir dari yang kedua, maka Na’im mengusulkan agar ayat madaniyyah yang menasakhkan (menghapus hukum atau) ayat makkiyah.
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyah bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestinya merefleksikan pesan ayat-ayat Makkiyyah(Ibid., 13)
Pendekatan Na’im ini sangat problematik sekali. Karena disini Na‘im sepertinya menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Katanya the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca.” (norma-norma politik dan hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di Madinah tidak selalu merefleksikan arti serta implikasi yang pasti dari pesan yang diturunkan di Mekkah).
Banyak yang mengkritik pemikiran an-Na’im. Bahkan, Fazlur Rahman juga menyatakan, inilah salah satu kesalahan fatal kaum Muslim modernis. Mereka ini, kata Rahman, gagal menangkap al-Qur’an dalam satu-kesatuannya yang utuh. Al-Qur’an dilihat secara terpisah-pisah dimana yang satu tidak terkait dengan yang lain.
Kesalahan yang lebih fatal lagi adalah andaikan pendekatan ini tetap digunakan, maka sudah pasti banyak hukum-hukum Islam yang akan terabaikan termasuk salat, zakat, haji, perkawinan, riba, dan lain-lain, karena hampir keseluruhan hukum-hukum tersebut terkandung dalam ayat-ayat Madaniyyah. Akibatnya Islam pun harus bubar, setidaknya Islam dikosongkan dari syariat-syariatnya. Apakah ini yang diharapkan Na’im dan para penyokongnya?Wallahu ‘alam. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar