Rabu, 24 Agustus 2011

Islam Menang Bersama Demokrasi?


[55] Islam Menang Bersama Demokrasi?PDFPrintE-mail
Thursday, 07 July 2011 19:11
Oleh: Dra. Rahma Qomariyah, M. Pd. I, Dosen Universitas Ibnu Khaldun
Gelombang demontrasi besar-besaran  melanda  kawasan Timur  Tengah.  Berawal  dari demontrasi  di  Tunisia  yang dipicu  oleh  aksi  bakar  diri seorang pedagang buah yang putus asa. Ini hanya sekadar pemicu, karena rakyat telah merasakan  penderitaan  yang  berkepanjangan.  Akibat  himpitan ekonomi,  dan pengangguran yang semakin meningkat. Sementara  itu  para  pemimpin  mereka hidup mewah bergelimang harta.
Untuk mengakhiri krisis ini, sebagaimana  biasanya,  Amerika  mengajukan demokrasi  sebagai  solusi  krisis  politik  di Mesir  dan  Libya,  11/2/2011.  lihat  pernyataan Obama: "Kedepannya, kami ingin agar  kaum  muda  tersebut  dan  seluruh rakyat  Mesir  tahu  bahwa  Amerika  akan melanjutkan segala hal yang bisa dilakukan untuk  mendukung  transisi  sejati  ke  arah demokrasi di Mesir."
Anehnya  proposal  AS  juga  diamini oleh  kaum  Muslimin  yang  tidak  paham sebenarnya demokrasi. Karenanya mereka ingin tetap memanfaatkan demokrasi untuk mengantarkan kemenangan Islam. Ini dibangun dari logika yang sangat naif, yaitu demokrasi memenangkan suara terbanyak, dan jika suara terbanyak itu umat Islam, maka umat Islam akan menang. Padahal itu hanya asumsi dan tak pernah terbukti.
Justru demokrasi inilah yang dipakai Barat untuk menghancurkan dan menghadang Islam. Hal ini seperti diberitakan oleh sebuah  stasiun  televisi,  bahwa  Amerika melalui Menlunya menyeru kepada Qaddafi agar  tidak  represif  terhadap  demonstran akan tetapi harus ada transformasi ke arah pemerintahan demokratis. Karena jika Libya semakin  represif,  memungkinkan  terjadi revolusi  yang  akan  dimenangkan  oleh Islam,  seperti  yang  terjadi  pada  revolusi Iran.
Para  pejuang  begitu  menuhankan demokrasi dan menguatkan pendapatnya dengan  mengungkapkan  pendapat  Nurcholis Madjid:”Suatu keanehan jika sebagian manusia menganggap demokrasi itu kufur dan  munkar.  Orang  yang  berpandangan demikian dapat dipandang belum memiliki standar  intelektual  yang  dapat  dipertanggung  jawabkan”  (Islam  akan  Menang Bersama  Demokrasi,  Republika,  Senin, 7/3/11).

Pernyataan itu bertentangan dengan Alquran  dan  hadits,  dan  tidak  sesuai dengan  fakta.  Di  samping  itu  Nurcholis adalah  orang  yang  tidak  layak  berbicara politik  Islam. Tahun 1970-an  Nurcholis mengampayekan jargon sekulernya: Islam yes, politik no.
Demokrasi 
Demokrasi adalah sistem pemerintahan  berdasarkan  suara  mayoritas.  Konsep pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan  yang  memihak  kepada  rakyat.  Ini hanyalah asumsi  belaka,  karena  faktanya yang  berkuasa  dalam  sistem  demokrasi adalah pemilik modal. Dari lahirnya demokrasi  sampai  sekarang  ternyata  tidak berbeda. Pada saat lahirnya demokrasi yaitu saat Revolusi Prancis pemerintahan saat itu dikatakan  sebagai  pemerintahan  demokratis padahal Napoleon berkuasa secara absolut, tapi ia melakukan atas nama rakyat. Sejarawan  DH  Lawrence  menyimpulkan tentang revolusi Prancis yang melahirkan demokrasi sebagai berikut: Raja dan bangsawan buatan Tuhan telah dihancurkan di Prancis  untuk  selamanya.  Penggantinya
adalah buatan manusia....... Seseorang yang tidak punya uang menemui dirinya dalam keadaan  sama  saja  dengan  sebelumnya. Dalam sistem yang baru setiap orang yang bisa menjadi kaya bisa menjadi penguasa. (Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi)
Dari uraian di atas jelas rakyat hanya sebagai  stempel  kekuasaan  belaka. Pada hakekatnya  yang  berkuasa  adalah  para pemilik modal (kapitalis). Demokrasi lahir dari revolusi Prancis dan grand desainernya adalah Freemasonry. Demokrasi  dipropagandakan secara massif oleh orang-orang Freemasonry  terutama  yang  menduduki kekuasaan  pemerintahan,  dan  agen-agennya.
Demokrasi Menghancurkan 
Dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah  Utsmaniyah,  Dr.  Ali  Muhammad Ash-Shalabi menyebutkan demokrasi dipakai Barat menghancurkan Khilafah Utsmaniyah. Serangan demokrasi terhadap Khilafah Utsmaniyah dipimpin Perdana Menteri Utsmani Medat Pasha. Dalam menentang demokrasi sultan Hamid memaparkan: keburukan  demokrasi  yaitu  undang-undang dan hukum buatan manusia bukan buatan Allah. Sultan menolak  sistem demokrasi karena dalam sistem demokrasi manusia  berhak  membuat  hukum  dan undang-undang.  Dan  sistem  tersebut bukan berasal dari Islam tapi berasal dari Barat. Ia mengkritik Medat Pasha dengan mengatakan:  ”Dia tidak melihat kecuali faedah-faedah demokrasi yang ada di Eropa, namun dia tidak mempelajari sebab-sebab demokrasi  ini  dan  pengaruh  lain  yang muncul  darinya.............Dulu  saya  yakin  dia akan memberikan manfaat, namun kini saya yakin  bahwa  demokrasi  hanya  akan mendatangkan  mudharat”.  Dan  mereka tidak mengetahui hakekat demokrasi yang sebenarnya,  yang  terlihat  hanyalah  baik dalam sistem tersebut bahwa rakyat bisa menentukan penguasa berdasarkan pilihannya dan mereka menyamakan demokrasi dengan musyawarah yang ada dalam Islam.
Islam bukan Demokrasi
Di dalam Islam yang berhak menentukan hukum hanya Allah SWT, bukan suara terbanyak. Misalnya wajibnya kaum muslim untuk melaksanakan shaum  Ramadhan selama 1 bulan. Maka tidak bisa digugurkan saat  diadakan  polling  ternyata  suara terbanyak menentukan tidak wajib, karena
mengakibatkan  kurangnya  produktivitas kerja.
Adapun mengenai hak rakyat dalam memilih  pemimpin, dalam kitab Tarikh Khulafa', Imam As Suyuthi menyebutkan: Pemilihan  pemimpin  sudah  diterapkan sejak  zaman  Khulafaur  Rasyidin,  ratusan tahun sebelum lahirnya demokrasi, kaum Muslimin  sudah  mempunyai  hak  pilih. Sebagaimana  Sabda  Rasulullah:  Dari Hudzaifah berkata: Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, tidaklah engkau menunjuk pengganti yang memimpin kami sepeninggalmu  nanti?”  Rasulullah  bersabda: ”Sesungguhnya jika aku menunjuk penggantiku, aku khawatir kalian akan menentang penggantiku itu dan Allah akan menurunkan azab atas kalian (HR al Hakim).
Pengangkatan pemimpin berdasarkan ridha dan pilihan rakyat merupakan ajaran  Islam. Yang diwajibkan hanyalah memilih pemimpin yang memenuhi syarat dan menerapkan hukum Islam, bukan harus si A atau si B.
Selanjutnya  mengenai  musyawarah, pengambilan  pendapat  di  dalam  Islam berbeda dengan sistem demokrasi. Dalam kitab  Syakhsyiyah  Islamiyah  Juz  I,  Syekh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan mengenai cara pengambilan pendapat dalam Islam  adalah  sebagai  berikut:  Jika  pada masalah  yang  hukumnya  mubah  maka boleh  dengan  suara  terbanyak. Untuk masalah penetapan hukum, peraturan dan undang-undang, maka diserahkan kepada Alquran dan hadits. Adapun jika menyangkut  keahlian  tertentu,  maka  diserahkan kepada ahlinya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar